Kategori
Dana Darurat Perencanaan Keuangan Uncategorized

Dana Darurat: Pelajaran Keuangan Pertama dari Ibuk

Dana darurat adalah pelajaran keuangan pertama saya. Siapa lagi yang mau mengenalkannya, kalau bukan Ibuk?

Saya memang telat muluk dah, apa-apanya. Ya tapi nggak masalah sih. Kan, katanya setiap orang punya jalurnya sendiri-sendiri ya kan? Yastralah ya, masih untung saya ngerti sekarang.

Perkenalan saya dengan dana darurat juga kayaknya “telat”. Saya sempat “kena” dulu, baru deh bilang, “Bener ya, susah ini kalau nggak punya dana darurat.”

Eh, waktu itu sih Ibuk bilangnya cadangan dana sih, bukan dana darurat. Blio punya istilah sendiri memang untuk pos-posnya.

Ah, mari saya ceritakan sedikit tentang Ibuk. Beliau memang guru keuangan saya yang pertama. Dan pelajaran pertama yang diajarkannya adalah tentang dana darurat.

Disclaimer: Artikel ini bukan ditulis oleh Bang Mamat.

[toc]

Ibuk dan Pengelolaan Keuangannya

Ibuk adalah generasi baby boomer yang menurut saya sangat sophisticated untuk usianya. Dulu pas deposito baru saja muncul sebagai produk perbankan, Ibuk sudah langsung punya. Bapak saya sendiri masih rada kuno, masih percaya sama simpenan di bawah bantal sama celengan ayam. Tapi Ibuk sudah punya deposito, dan setiap awal bulan, blio datang ke bank untuk mengambil bunga depositonya untuk tambahan uang belanja.

Ya, zaman dulu, bunga deposito disetorkan tunai ke nasabah. Nggak langsung ditransfer ke rekening ya.

Seperti yang lazim dilakukan pada umumnya orang, Ibuk punya amplop-amplop untuk jatah hidup. Kami sendiri, saya dan kakak-kakak saya, sudah diberi uang saku secara bulanan sejak SD.

Kakak saya yang pertama adalah tipe cepat belajar. Konon, dia bisa mengelola uangnya dengan baik, dan bisa menabung di setiap akhir bulan dari sisa uang jajannya. Kakak kedua, boncos seboncos-boncosnya. Hari ini pagi diberi uang saku buat sebulan, siangnya dia traktir teman-temannya di kantin SD. LOL. Uang saku sebulan langsung habis.

Ternyata Ibuk nggak marah. Besoknya, ya dikasih lagilah itu kakak kedua saya uang saku lagi. Sambil diwanti-wanti lagi, jangan dihabisin. Ini buat sebulan. Lama kelamaan, ya kakak saya bisa juga itu mengelola uang sakunya.

Kembali ke awal

Saya dan Pelajaran Keuangan yang Pertama

Saya juga sudah mulai diberi uang saku saat masih duduk di bangku SD.

Ibuk kasih saya beberapa koin uang, lalu bilang, “Ini buat jajan ya. Diatur, jangan langsung habis. Nanti Ibuk ngasih uang lagi tanggal satu.”

Saya pikir, ya udah, itu jatah saya. Saya buka dompet, mau simpan uang itu. Tapi ternyata, Ibuk ngasih saya uang lagi. Kata blio, “Ini uang buat cadangan. Dipakainya kalau kamu butuh apa-apa dadakan. Misalnya kayak kemarin, mesti beli LKS itu. Bisa kamu langsung bayar, nggak usah utang sama Bu Guru.”

Beberapa hari sebelumnya, saya memang beli LKS dari wali kelas. Dan karena saya nggak punya duit sisa jajan, maka saya pun utang. Besoknya, baru saya bayar setelah saya bilang sama Ibuk dan dikasih uang.

Saya manggut-manggut. Hore! Saya dikasih duit lagi! Gitu pikir saya.

Kembali ke awal

Apa Hasil Pelajaran Saya tentang Dana Darurat?

Saya melihat kakak pertama saya diberi pujian oleh Ibuk dan Bapak, karena bisa menggunakan uangnya dengan baik. Meski nggak banyak, tapi dia bisa bikin tabungan sendiri. Terus, pas tabungannya sudah banyak, dibongkar dan dia bisa beli gundu seplastik.

Kakak kedua saya, meskipun sempat diomelin (tapi sambil ketawa) karena menghabiskan uang jajannya di hari pertama dikasih uang saku, tapi tetap dipuji juga, karena akhirnya ya tetep bisa mengelola uang. Seenggaknya bisa sampai akhir bulan, meski nggak bisa nabung juga. LOL.

Nah, bagaimana dengan saya?

Saya bisa bikin uang jajan saya utuh! Nggak tersentuh!

Wuih, dapat pujian banget dong saya.

Terus ditanya, “Berarti kamu nggak pernah jajan?”

“Ya, jajanlah. Laper kalo nggak jajan,” jawab saya.

“Loh, terus pake uang apa jajannya? Ngutang?” Suara Ibuk sudah waswas.

“Nggak ngutang kok!” Saya memang paling ngegas kalau dituduh yang nggak bener.

Iyalah, uang saku saya utuh tapi saya bisa jajan. Orang saya jajan pake dana darurat, alias cadangan uang saya.

LOL. LOL.

Jadi, uang cadangan saya itu habis, saya pake buat jajan, supaya uang saku utuh biar saya dipuji pinter atur duit. Pasalnya, saya lihat itu kakak-kakak saya pada dipuji.

LOL.

Kembali ke awal

Pelajaran Terbesar tentang Dana Darurat

Saya terus masih mendapat uang saku dari Ibuk, dan kakak-kakak saya (meski semau mereka juga ngasihnya) sampai saya selesai kuliah.

Selepas kuliah, saya diterima bekerja di sebuah perusahaan sebagai seorang product designer. Kebetulan, perusahaan tersebut merupakan trading company untuk handicraft yang diekspor ke luar negeri. Lumayan banget sih omzetnya, pas saya mulai masuk kerja di situ. Sebulan bisa dua kali konteneran, dan dikirim ke Amerika, UK, Dubai, sampai Singapore dan Thailand.

Saya sempat bekerja di perusahaan tersebut selama 3 tahunan. Dua tahun pertama, biasa saja. Semua lancar dan baik-baik adanya. Masuk ke tahun ketiga, perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Semua gara-gara salah estimasi harga dan kapasitas produksi.

Karena kesulitan uang, akhirnya saya (dan juga karyawan lain) sering telat gajian. Seharusnya saya gajian di awal bulan, tapi bisa molor ke tengah bulan. Bahkan pernah sampai ke awal bulan lagi baru saya dikasih gaji. Juga pernah, gaji saya dicicil.

Waktu itu, saya memang masih jomlo. Belum ada tanggungan, hidup juga masih sama Ibuk. Tapi ya, gimana ya? Emang ada yang mau gitu, kerja dengan gaji telat? Atau, bahkan nggak digaji?

Nggak ada kan? In one or another circumstance pun, gaji telat itu membagongkan. Apalagi ini nggak cuma sekali telat. Terlepas dari apa pun kondisinya ya.

Saya pastinya ngeluh ke Ibuk. Saat itu pula Ibuk bilang ke saya, “Kamu mesti punya cadangan uang. Buat hidup kalo lagi telat gini. Nanti kalau sudah gaji sudah lancar lagi, diganti.”

Ohhh, itu ya, fungsinya ternyata. Saya lantas ngeh sengerti-ngertinya, fungsi dana darurat saat itu.

And then, saya pun mulai membangun dana darurat saya sejak saat itu. So, awalnya tujuan punya dana darurat itu ya cuma satu itu: demi menalangi biaya hidup akibat gaji yang telat.

Hingga kemudian saya resign sebelum dapat kerjaan lagi, dana darurat saya bisa dipakai buat sekadar beli bensin buat mobil butut saya. Makan, saya masih bisa sama Ibuk. LOL.

Kembali ke awal

Pelajaran Keuangan yang Kepakai Terus Sampai Sekarang

Pelajaran Ibuk tentang dana darurat saya pegang terus sampai sekarang. Bahkan ketika masa pandemi mulai menyerang kemarin, saya termasuk yang tenang-tenang saja menghadapinya dari sisi keuangan.

Orderan tulisan sempat menurun di masa awal pandemi. Bukan apa-apa, tapi klien saya juga mengalami masalah keuangan, sehingga order tulisan pun disetop. Saya memakluminya. Siapa memangnya yang nggak kesulitan menghadapi krisis seperti itu?

Selama mengalami penurunan itu, sebenernya saya masih bisa hidup dengan fee yang ada. Tapi, saya tetap merasa tenang juga, karena dana darurat cukup banget buat hidup 12 bulan ke depan.

Nah, itu deh cerita awal perkenalan saya dengan dana darurat. Di artikel berikutnya, saya akan cerita bagaimana caranya menyisihkan sedikit penghasilan untuk membangun dana darurat yang ideal. Ya kali ada yang bingung juga. Penghasilan kecil  atau tidak tetap sebagai freelancer, dana darurat tetap harus punya, soalnya.

Kalau kamu, pelajaran keuangan apa yang pertama kali kamu dapatkan? Dan, dari siapa?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Konten dalam blog ini dilindungi oleh hak cipta
Exit mobile version