Kategori
Perencanaan Keuangan Rants

Demo Sopir Taksi dan Sharing Economy

Demo sopir taksi dan sharing economy, dua konsep yang sangat bertolak belakang. Bagaimana dua hal ini menurut gw? Salah siapa? Silahkan baca! 😀

Pagi ini, dengerin radio dan buka timeline diwarnai berita rencana demo sopir taksi dan sharing ekonomy dari Pak Rhenal Khasali. Gw gak tahu apakah demo sopir taksi ini juga termasuk angkutan umum (yang sekarang sudah berlangsung). Sasaran mereka demo adalah protes sama kehadiran para kendaraan umum berbasis aplikasi online. Informasi dari Radio yang gw denger “ribuan”.

Selain itu, pas lagi di angkot, gw baca juga tulisan Pak Rhenald Khasali di kompas.com dan setelah gw cari lagi juga ada di Koran Sindo tanggal 17 Maret 2016 kemarin. Artikel yang bisa diembed dari website pribadi Pak Rhenald seperti di bawah ini:

Selamat Datang Sharing Economy

Demo Sopir Taksi dan Sharing Economy yang Bertentangan

Kalo baca artikelnyaPak Rhenald, demo sopir taksi dan sharing economy ini memang kondisi yang sangat bertolak belakang. Sekilas emang kayak api dan air yang seolah gak bisa disatukan. Salah satu harus ditiadakan. Para supir taksi gak akan bisa bertahan hidup kalo mengandalkan nyupir taksi konvensional (silahkan masukkan nama perusahaan armada taksi yang sering anda gunakan) di masa internet yang memungkinkan beragam aplikasi transportasi online merajalela.

Mereka harus menghidupi anak dan istri, sementara masih harus membayar setoran kepada perusahaan pemilik armada taksi tempat mereka bekerja. Padahal dikarenakan banyaknya pilihan transportasi yang lain (baca: lebih murah) karena aplikasi tak berijin, penghasilan mereka jauh menurun dibandingkan sebelum adanya aplikasi itu. Aplikasi-aplikasi transportasi online yang merupakan perwujudan konsep sharing economy dituding sebagai biang kerusakan mata pencaharian mereka.

Para supir taksi itu gak salah. Dan gw akan balik ke sana nanti.

Gw jadi inget sekitar setahunan lalu waktu gw publish tulisan tentang cara mudah memesan taksi online, saat itu gw tahu dan yakin bahwa gw adalah happy customer dari perusahaan taksi ini. Dan dengan peluncuran mereka yang gegap gempita (mensponsori acara blogger, mengundang blogger untuk datang ke acara-acara offline mereka), gw pikir perusahaan ini sudah siap melangkah mengubah arah bisnis untuk masuk ke ranah digital. Sampe kejadian demo hari ini.

Hak Konsumen dan Hajat Hidup Orang Banyak

Kehidupan perkotaan

Buat yang hidup di kota besar kayak Jakarta yang sistem transportasi umumnya masih memberikan begitu besar ruang untuk pertumbuhan, pasti paham kalo memilih moda transportasi yang tepat adala satu hal yang krusial. Gimana enggak, dari kasus gw pribadi, biaya yang harus gw keluarkan buat transport sekitar 40% dari total pengeluaran harian gw (dengan catatan gw makan di luar, kalo bungkus makan dari rumah ya berarti 100% pengeluaran gw adalah untuk transport).

Biaya yang harus gw keluarkan kalo misalkan naik kereta nyambung dengan angkutan umum semua adalah sekitar Rp.21.000,- Cuma sekitar Rp. 450.000 – Rp. 600.000 sebulan. Angka yang gak terlalu besar memang, tapi gw harus menambah waktu perjalanan sekitar 1-2 jam dengan total commuting time sekitar 3 jam untuk satu kali perjalanan berangkat/pulang. Total setiap hari 6 jam perjalanan. 25% dari waktu yang gw punya setiap hari.

Gw akan bisa memotong waktu perjalanan 1-2 jam dengan bawa kendaraan pribadi atau naik taksi. Yes. Taksi.

Kalo naik mobil dilanjut naik angkot, yang harus gw keluarkan adalah sekitar Rp. 72.000 untuk angkot dan tol. Naik 3x dibandingkan kalo gw naik kereta. Tapi bisa menghemat 1-2 jam perjalanan tadi. Sementara kalo full naik taksi dari rumah gw ke kantor sekitar Rp. 275.000 sekali jalan. Okelah, gw gak pake aplikasi taksi online setiap saat. Mungkin ada sekali atau dua kali dalam sebulan.

Lalu muncullah aplikasi-aplikasi online ini. Sekitar setahunan gw pake aplikasi baik ojek online maupun taksi online. Untuk taksi online yang pakai mobil pribadi, sekali jalan dari rumah gw ke Jakarta dan atau sebaliknya, tarif “hanya” Rp. 97.000an kalo gak pas lagi macet dan gak kena surcharge. Kalo lagi rame dan macet paling banter kena Rp. 175 ribuan sekali jalan. Dalam otak gw yang paling gak waras pun gw akan tetep pilih menggunakan taksi online.

Dari dalam sebuah taksi

Sementara untuk ojek online, dengan skema tarif yang mereka tawarkan, gw bisa nyampe ke tujuan gw dengan jauh lebih cepat dan jauh lebih murah. Ojek mangkal gw digetok Rp. 35.000 tanpa mau nego sama sekali buat rata-rata jarak yang gw tuju. Sementara dengan ojek online gw cukup bayar Rp. 20.000-Rp.25.000 (sudah termasuk dan tergantung dari tambahan buat driver yang gw kasih secara sukarela).

Fenomena yang seperti Pak Rhenald bilang, anak-anak muda yang memahami konsep sharing economy menyediakan wadahnya dan memberdayakan lebih banyak orang.

Dengan gw milih menggunakan jasa ojek dan taksi online apakah kemudian gw “membunuh” para tukang ojek dan supir taksi konvensional perlahan-lahan? Ya mungkin ya. Tapi di sisi lain gw juga membantu mata pencaharian para supir taksi dan supir ojek online itu kan?

Sementara gw sendiri juga harus mikirin kelangsungan kehidupan perekonomian rumah tangga (baca juga postingan financial check dan masa depan cerah untuk keluarga). Kudu cari cara gimana biar bisa berpindah tempat dengan transportasi yang ada secepat mungkin dan semurah mungkin. Hak gw sebagai konsumen kan?

Trus, Demo Sopir Taksi dan Sharing Economy ini Tanggung jawab siapa?

persaingan Taksi di perkotaan

Yang pasti bukan tanggung jawab para sopir taksi itu. Paham banget kok gimana posisi mereka karena bapak gw sopir. Jadi kebayang rasanya habis seharian keliling di jalanan Jakarta yang macet trus gak ada duit sama sekali. Jadi para supir taksi ini gak salah seperti yang gw bilang di atas tadi (baca cerita tentang Bapak dan cerita lain tentang orang yang berjuang sangat keras buat gw ini).

Trus yang salah siapa?

To be honest sih yang salah adalah perusahaan taksinya dan pemerintah. Dua pihak yang punya segala daya dan upayanya untuk bisa menyambut kehadiran era internet dan sharing economy ini. Sekali lagi, dengan diluncurkannya aplikasi pemesanan digitalnya tadi gw pikir merupakan sebuah sinyal positif untuk menyambut persaingan dengan perusahaan jasa yang menyediakan aplikasi sejenis. Posisi mereka yang ada di puncak penyedia jasa layanan transportasi seharusnya bisa memberikan mereka gambaran tentang kondisi industri transportasi di negara lain. Tentang kehadiran Uber, Grab Car, Gojek dan lain sebagainya dan lain-lainnya. Karena bagaimanapun awareness mereka sebagai perusahaan taksi terbesar terhadap potensi persaingan sudah jadi tugas mereka, apalagi status mereka sebagai perusahaan terbuka yang sahamnya diperdagangkan di lantai bursa efek Indonesia. Ini sekaligus sebagai kritikan gw terhadap perusahaan taksi yang pernah lama banget jadi perusahaan penyedia transportasi andelan gw dan keluarga.

Masyarakat dan jalanan

Seharusnyalah para pimpinan perusahaan transportasi itu yang menyediakan solusi untuk ratusan ribu sopir yang menggantungkan hidupnya sama perusahaan, bukan memberikan ijin orang-orang yang urusan perutnya sudah kadung keganggu untuk turun ke jalan. Kegagalan mereka melihat persaingan di masa depan yang (ternyata) gak terlalu jauh dan potensi friksi yang semestinya gak perlu itu sudah jadi dua kesalahan yang cukup fatal.

Satu lagi pihak yang juga bertanggung jawab adalah pemerintah di mana sebagai regulator, pemerintah seharusnya juga memiliki mata yang lebih luas untuk bisa mengantisipasi kehadiran layanan transportasi online ini. Mulai beroperasi tahun lalu, seharusnya pemerintah bisa mencium potensi timbulnya masalah seperti yang akan terjadi sekarang ini. Bagaimanapun friksi-friksi kecil antara jasa layanan konvensional dan online sudah pernah kejadian sebelumnya kan?

Harapan gw sebagai rakyat yang bayar pajak rutin, mematuhi peraturan dan lain sebagainya dan lain-lainnya adalah pemerintah bisa responsif menghadapi fenomena yang kejadian dimasayarakat ini. Jangan sampai kejadian sopir taksi (yang notabene bikin gw inget sama bapak) marah dan bertindak anarkis karena merasa hak mereka diserobot oleh orang lain yang sedihnya berkondisi kurang lebih sam dengan mereka, sementara sebagian lain merasa gak berdaya karena ketidakadaan pilihan (gw sebagai pengguna transportasi umum misalkan).

Entahlah, demo sopir taksi dan sharing economy ini sepertinya masalah yang bisa diselesaikan dengan cukup sederhana tapi gw tahu memang gak mudah. *halah! Dan bener seperti yang dibilang sama Pak Rhenald, orang-orang tua yang sudah kadung numpuk aset mestinya bisa berbenah, menyesuaikan diri dan bergabung di dunia sharing economy ini. Gimana menurut kalian?

*dani yang bete karena susah cari kendaraan pulang.

50 tanggapan untuk “Demo Sopir Taksi dan Sharing Economy”

Samaaa..dakupun tak berhelm sepanjang perjalanan pulang karena takut diberhentiin di jalan sama demonstran. Setelah sebelumnya bete nunggu kopaja setengah jam gak ada ternyata demo. Ish!
Kalo gak salah minggu lalu menteri perekonomian apa umkm ya ngeluarin regulasi bahwa uner dan grab car ini skrg udh jelas payung hukumnya jd masuknya ke usaha rental. Cuma mungkin yg diharapkan para sopir taksi ini regulasi dr menhub yg ampe skrg dan dr dl kayaknya belom ngeluarin regulasi yg jelas. Semoga bisa jadi pelajaran ke depannya deh. Jakarta itu mobile bgt, transportasi murah dan nyaman udah pasti bakal menang. Tinggal pelaku bisnis nya aja bersaing scr sehat dan berinovasi.

Iya Naaaaad…. Bener banget. Gimana pelaku bisnisnya bergerak dan bersaing dengan kemunculan inovasi-inovasi yang ada di luar sana yang terpenting. Konsumen mana mau kan mikirin mereka modalnya keluar berapa lalalili selama kitanya bisa mendapatkan layanan yang diharapkan sesuai dengan budget kita ya.
Soal perijinan, inilah ya. Kalo memang kemenhub harusnya mengeluarkan perijinan, ya mestinya secepat mungkin ya mereka keluarkan. Kok ya ditahan-tahan gini. Hiks…

Balas

Gak ada yangsalah, yang salah itu “oknum”, hahaha.
inilah hasil jika tidak mengikuti perkembangan teknologi, selalu ingat kata guru saya dulu

“Ikuti kemana massa mengarah, dan menjadi terdahulu-lah disana” (Yan Nurindra Quotes)

Masalah demo besar-besaran ini aku tahunya dari sopir taksi yang aku pesan Sabtu kemarin. Dia sih bilangnya solidaritas atas nama teman sesama sopir. Waktu aku singgung apa alasannya, dia jawab,”Biar Grabcar sama uber jadi legal, tidak ilegal. Biar bersaingnya enak secara sehat.”

Perasaan, selama aku tinggal di Riau, yang mana ada juga taksi2 menggunakan mobil pribadi, hampir nggak pernah kedengaran ribut2nya.

Nah iya Dit, di sini kan karena sebelum kehadiran aplikasi online transportation ini kan memang andelan banget. Dulu gw kemana-mana pake taksi bluebird. Nah dengan sekarang ada alternatif ya jelas gw beralih lah ya. Kalo di daerah lain mungkin karena gak setajam itu kerasanya kali ya.

Balas

Berkah dari demo hari ini ….. Pulangnya gak terlalu macet padahal abis ujan, anggaplah bayar BT tadi pagi, taksi gak ada lalu pake busway dan macet banget plus jd telat sampe kantor … Belum tegang, serem … Liat pengendara motor digebukin rame rame ama supir taksi yg demo depan smesco pancoran.

Baca postinganmu ini, jadi melek dan …. Yang km tulis bener semua, plus paling setuju dari sisi penumpang, gue baru sekali pake jasa taksi online ke bandara, tp sehari hari setiap pagi brkt ke ktr gue selalu pake taksi konvensional … Semua pihak punya kepentingan dan sama sama punya alasan buat keputusan dan tindakannya, semoga pengusaha dan pemerintah kasih jalan keluar terbaik buat semua ini ya …

Bu Silviiii…. Ini kemaren kami malah kejebak macet di arah keluar dari Jakartanya. Dalem kotanya kosoooong. Hahaha…
Paginya masih alhamdulillaah dapet angkot sih kemaren.
Duluuuu masih pake taksi konvensional karena masih ngeri ama layanan taksi online, tapi setelah ngerasain beda layanan dan harga kok ya jauh banget. Kualitas mereka di layanan paripurna bener loh….

Balas

Naaah kan mas Wahyu…. Kemaren saya tuh harus jalan dan bingung cari alternatif transportasi. Akhirnya pun naik ojek konvensional yang mana harganya lebih dari dua kali lipat ojek online! Huhuhu. Ada sih busway tapi ngantri poll dan setelah turun masih harus lanjut transportasi lain yang gak jelas bakalan ada ato nggak juga. :,(

Balas

Bapak Dani, anda berhasil berada ditengah2 sebagai konsumen dan empati terhadap bapak-bapak disana.

Saya bangga dan mendukung anda menjadi pejabat gimana? Please taun depan nyalonin aja yah yah yah ?

Bahahaha. Saya takut kalo jadi pejabat omongan saya bisa beda deh bu Desy… (>.<)
Bapak saya sopir soalnya, jadi kerasa banget kira-kira gimana perasaan para bapak-bapak yang demo kemaren.

Balas

Saya belum pernah pakai taksi online ataupun ojek online. Tapi pernah pakai 1x ojek online buat anterin barang dari Bekasi ke Jakarta. Terbilang murah, cuma 35ribu aja. Mana udah malem, hujan lagi.

Yang jelas para taksi online ini kreatif. Mencari celah untuk bersaing dengan taksi yang lebih dulu ada dan berhasil dengan kemudahan, layanan, sama harga.

Disini, konsumen yang menentukan. Dan yang menang adalah taksi online.

Betul Om Bayu, kalo memang mau survive, mau gak mau taksi konvensional harus bisa berinovasi dan membuat model bisnis yang bersaing ya dengan taksi online atau jenis transaksi online yang lain….
Makasih Om Bayu 🙂

Balas

mestinya mereka gak punya alasan buat ngedemo infrastuktur ya om. Dan yakin deh kalo infrastruktur transportasi okepunya, pendapatan mereka bakalan jauh lebih turun lagi 😀

Balas

Tulisan mas dani bagus, beropini tanpa memihak. Di sby sini, transportasi ga sekejam di jkt sono ya.
Btw, mahal banget maass..ongkos transportasi njenengan kraii
Saya baru pake ojek online beberapa kali (sama sekali belum pernah pake taksi online). Pake gojek seringnya buat beli makanan. Antara yg konvensional sama online? Kalo pendapat saya pribadi nih ya sbg konsumen, kayaknya lebih milih ke yg online. Karena lebih murah, tarif udah jelas di awal, dan lebih cepet sih.
Semoga segera ada jalan keluar tanpa merugikan salah satu pihak ya.

Saya gak berani memihak Jeung, gak tega juga karena bapakku sopir euy si Surabaya sana. Sopir angkot yang harus rela juga pendapatannya turun akibat transportasi online dan kendaraan pribadi. 😀
Amiiin, semoga segera bisa ketemu solusinya deh ya

Balas

Analisis yang bagus Dan. Saya sependapat kalau yang salah adalah perusahaannya. Karena ketidakmampuan manajemen perusahaan melawan transportasi berbasis aplikasi sehingga market share mereka menurun, mereka bukannya mencari terobosan baru, tapi malah seolah-olah mengerahkan karyawan2nya untuk demo dan kemudian terjadilah tindakan anarkis kemarin.
Kadang berpikir, kalau misalnya para taksi ini sah2 saja mendemo transportasi berbasis online, ya mungkin dulu sah2 saja kalau Jawapos, Kompas mendemo detikcom, PT Pos mendemo gmail, yahoo, atau yg terbaru Matahari, Ramayana mendemo lazada, elevenia, toko bagus dll

Nah!!! Analoginya pas mantabh Sur! Mestinya bisa begitu juga kan ya? Tapi nyatanya gak kejadian kan?
Kewajiban manajemen emang buat bisa merevolusikan layanan dan model bisnisnya.. Huehehehe… Again, analogi yang mantabh abis. Makasih ya Sur! 🙂

Balas

kemarin waktu di jakarta, wara wiri pake taksi, baru trakhir ke bandara pake taksi onlen, meski agak2 takut di awal, krn khawatir sopirnya begini begitudan ekeh dibawa kabur #GR. dan ternyata sopirnya ramaaah pake banget, mobilnya bagus dan wangi. trus nyesel pake banget! knp ga dari awal pake jasa taksi onlen, yg harganya jauuuuh lbh murah dan pelayanannya memuaskan. apalagi sopir taksi biasa di jkt itu, suka muter2in jalan, kalo penumpangnya pendatang. kan jebol dompet ekeh kakak..

btw, knp tulisanmu yg ini gak dikirim ke koran aja dan? bagus buat segmen opini 😀

Belom ah Da kalo mau kirim ke koran. Huehehehe.. Entah kenapa kok masih belom ada keinginan kirimnya 😀
Btw eniwei kirain dirimu sudah tahu tentang taksi online ini. Emang bedanya JUAUH BANGET Da. Huehehehe…

Balas

setuju. Saya berusaha berada di tengah-tengah saja. Seharunya memang ini bukan tanggung kesalahan para driver yang sehari-hari di jalan.

Untuk taxi konvensional dan kendaraan umum konvensional lainnya, sudah mulai saatnya bebenah diri. Dulu, saya selalu hopeless, merasa persoalan angkutan umum di Indonesia, khususnya di Jakarta ini seperti benang yang sudah sangat kusut sampai gak bisa diurai lagi. Kemudian, maraknya transportasi online seperti menjawab keraguan saya. Mereka menjawab harapan banyak orang tentang transportasi yang cepat, aman, dan nyaman. Kabar kalau transportasi online adalah illegal juga sebaiknya segera dibenahi.

Jadi, kedua pihak harusnya saling bebenah diri. Yang merasa usahanya legal, bebenah diri dengan mengikuti perkembangan zaman. Yang merasa illegal, harus buat usahanya jadi legal. Tentunya ini juga harus jadi perhatian dan tanggung jawab pemerintah serta para pemilik perusahaan transportasi. Jangan sampai para driver bahkan kita semua sebagai pengguna yang jadi korban lagi

Iya Mbak Myra… bener banget, kehadiran taksi dan transportasi online lainnya ini kayak menjadi jawaban ke-hopeless-an saya akan transportasi di Jakarta. Kalau memang pemerintah (atau banyak pihak) masih menganggap transportasi online ini ilegal, tugas merekalah untuk bisa membuat regulasi yang bisa melegalkannya karena arus aplikasi transportasi online ini tidak bisa dibendung (dari kebutuhan penggunanya yang merasa terbantu banget).
Kegagalan pemerintah dan juga pemilik perusahaan untuk berbenah dan berubah bisa merugikan rakyat yang mana seharusnyalah diutamakan.

Balas

meskipun bukan orang jakarta.. tapi bener banget yang dikatakan mas dani, pemerintah dan pemilik perusahaan tersebut yang harus mencari jalan keluar biar tidak ada lagi Demo di jalanan yang makin tambah macet dan bikin repot masyarakat. salam kenal semuanya

Salam kenal Mas Zaenudin, saya yakin kondisi ini juga akan menjalar ke daerah lain karena keberadaan transportasi online juga tidak akan terbendung hanya di Jakarta saja kalau menurut saya…

Balas

Lebih milih di tengah-tengah aja. Kasian dua-duanya. Walopun iya, saya pengguna transportasi online. Tapi beberapa kali naik transportasi konvensional, selalu mendapati sopir yang baik. Semoga ada jalan keluar buat keduanya, ya…

Iya Mbak Nia, saya juga pengguna setia taksi konvensional sebelumnya. Sedih aja kalau mereka berhadapan kayak gini. Semoga segera dapat ketemu inovasi untuk bisa keluar dari masalah persaingan ini..

Balas

Bacaan yang menarik mas…Sempet kepikiran mau nulis ini kemarin,, untung saya batalkan..Kalah kelas..hahahha
Saya mau komen sebagai pribadi ya,, bukan sebagai wakil pemerintah..wkwkwk

Setuju banget kalo pemerintah harusnya mengantisipasi fenomena ini. Tapi memang, yang namanya inovasi, apalagi inovasi peraturan itu butuh waktu dan dana..Saya sendiri mengalaminya ketika berproses disini. Cuman apapun itu, memang seharusnya perundangan wajib menyesuaikan dengan era teknologi.
Pemilik perusahaan juga berandil besar. Saya setuju itu. Heran rasanya melihat tataran manajemen diem aja dan malah lepas tangan. Gak make sense!

Haiyah, kalah kelas gimana Mas? Hawong ini kelasnya orang bete gak dapet angkutan umum tapi bapaknya juga sopir. Mau nyalahin juga gak tega tapi bete. hahaha. Jadi yaudin deh, ambil sasaran dua pihak yang paling kelihatan besar perannya. Wkwkwkwk.
Kebayang memang mas ribetnya bikin perundangan. Bisa jadi dalam waktu satu-dua bulan aja udah bagus ya. Pasti banyak kepentingan yang saling tarik menarik. Nah kalo soal manajemennya emang deh Mas Andhika. Huehehe..

Balas

salut Dan..secepat ini udah bisa publish berita terhangat (tapi baru sempat komen sekrang)
gara2 demo ini kita sekeluarga bingung harus nganter nyokap yg harus ke rumah sakit, .. takut digrebek kalau naik taksi, mana nyokap udah khawatir setengah mati..deh..

Ya Allah, kebayang Mbak Monda waktu kejadian bagaimana. Sedih emang ya kemarin itu pas demonya. Trus gimana Mbak, akhirnya ke rumah sakitnya naik apa?

Balas

yang jadi pertanyaan..kenapa bisa beda tarif antara taxi reguler dan taxi online….., tentunya masyarakat..apalagi saya..akan memilih yang lebih murah,
namun…semua itu seharusnya yakin,,bahwa masing-masing orang itu sudah ditentukan rezekinya..nggak akan ada yang bisa saling menyabot rezeki…kecuali kalo mereka sudah nggak percaya lagi kepada TUHAN,
keep happy blogging always….salam dari makassar – banjarbaru 🙂

Perbedaan harga terjadi karena perbedaan model bisnis ya Pak dan memang kita sebagai masyarakat pasti memilih yang paling murah ya Pak. Sedih rasanya kalau memang tidak ada pilihan lain.
Setuju banget kalau rejeki itu tidak akan tertukar dan sudah diatur porsinya masing-masing sama tuhan 😀
Terimakasih banyak Pak Hariyanto 🙂

Balas

sudah baca di hp tulisan mu ini tapi baru comment sekarang. sudah 2 hari setelah demo kondisi jalan masih sulit menemukan angkutan. untungnya di aku karena jarak rumah dengan kantor lumayan dekat jadi kalau mau jalan kaki juga bisa sich hanya kadang mikir, mereka demo gitu apa untungnya sich, secara sudah 3 hari nga narik mereka nga rugi apa yach? trus hanya demi iri hati karena rezeki mereka nga sebanyak dulu karena keberadaan aplikasi tanpa melakukan perubahan yang signifikan akan keberadaan dan layanan mereka koq yach nga malu gitu yach? gemes.

Iya Lin, rugi sendiri sebenernya mereka gak narik ya. Tapi ya gimana lagi. Sebenernya kasihan sih para supir ini. Perubahan signifikan sebenernya lebih diharapkan dari perusahaan yang menaungi mereka. Yang bisa mereka lakukan hanyalah meningkatkan kualitas pelayanan sebenernya (para supirnya), sementara model bisnis harus datang dari atas.
Makasih ya Lin 🙂

Balas

Danii…kenapa post barumu skrg gak masuk lagi ke feedly ku ya? *trus dani heran, kok tanya ke aku? hehehe..aih..feedly kadang suka menganeh ya 😀 *

Btw setuju, semua ya tanggung jawab penyelenggara usaha dan penyelenggara negara lah ya, semoga jalan penyelesaiannya bisa segera terumuskan lah yaa

Wah itu kenapa ya Lis? Kemaren sih emang baru ganti hostingan dan server, apa pengaruh itu ya? 🙁
Iya Lis, tanpa peran kedua badan itu rasanya mustahil bisa dapet jalan terbaik ya.. Semoga bisa segera ditemukan formula terbaiknya.. *amiiin

Balas

Permasalahannya memang kompleks ya. Di satu sisi, perusahaan yang tidak inovatif jelas akan tertinggal. Tetapi inovasi yang ada juga mesti diregulasi dengan benar, apalagi di bidang yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak gini

Iya Ko. Emang regulasi yang kuat dari pemerintah sama kekuatan inovasi perusahaan jadi dua kunci utama. Kalo perusahaan dan pemerintah gak ngapa-ngapain ya jadinya supir yang di bawah yang bergejolak ya..

Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Konten dalam blog ini dilindungi oleh hak cipta
Exit mobile version