Investasi memang penting, dan seharusnya ini disadari oleh siapa pun seawal mungkin. Maksudnya bukan seawal mungkin pas masih kecil juga, tapi seawal mungkin ketika kita mulai masuk usia produktif dan mulai bekerja. Karena kalau enggak, ya akhirnya kita jadi menunda investasi.
Nah, di sinilah awal kesalahan terjadi. Masih untung kalau yang bersangkutan terlambat sadar. Kayak saya. Usia segini baru ngeh pentingnya investasi. Tapi ya mari kita bersyukur saja bahwa masih sempat sadar, bahwa investasi itu penting. Nggak cuma itu, saya juga baru sadar bahwa ternyata investasi itu mudah!
Alasan saya memang banyak beud buat menunda investasi. Dan, saya yaqin, pasti banyak juga yang sama kayak saya #nyariteman. So, mari kita bahas satu per satu apa saja alasan saya hingga saya menunda investasi.
Disclaimer: Artikel ini bukan ditulis oleh Bang Mamat.
[toc]
7 Alasan Saya Menunda Investasi
1. Nggak ngerti manfaatnya
Saya menunda investasi karena pada prinsipnya saya nggak ngerti manfaat investasi itu apa.
Kalau buat cari penghasilan, saya bisa kerja kok. Kerja apa saja, terus dapat duit. Saya rada-rada skeptis aja gitu, apaan kok nggak kerja dapat uang? Yang kayak-kayak gini, saya menganggapnya sebagai “duit ga pantes”.
Saya percaya, ketika kita mendapatkan “duit nggak pantes”, maka si duit juga akan cepat perginya.
Ugh. Kalau ingat, saya pernah punya mindset kayak gitu, ya malu sih. LOL. Tapi sekaligus lucu juga. Inilah hasil dari literasi keuangan yang rendah.
2. Kayaknya mbulet
Nggak cuma investasi, segala jenis perkeuangan itu buat saya mbulet dan ruwet.
Bayangkan, mesti nyatetin duit keluar masuk setiap hari. Itu pekerjaan yang sungguh membosankan. Belum lagi kalau bikin budgeting. Kalau di atas kertas tekor, langsung stres duluan! Mending nggak usah budgeting sekalian, kalau tekor mulu mah. LOL.
Padahal mah ya, kan mestinya kalau memang tekor, kudu wajib budgeting beneran kan ya? Iyha. Tapi mbulet banget. Saya memang dari dulu nggak bersahabat sama angka soalnya.
So, saya lihat, investasi itu mbulet sekali. Kantor pertama tempat saya kerja pernah datengin agen asuransi untuk sosialisasi pentingnya proteksi diri dan juga investasi, saya malah utak atik nyeketsa desain produk. Wqwqwq. Sungguh tidak menarik minat.
3. Merasa masih terlalu jauh buat mikirin punya anak, punya rumah, atau mau pensiun
Pada akhirnya, saya tahu juga apa manfaat investasi. Tapi kemudian kembali saya membuat alasan untuk menunda investasi.
Saya masih muda, masih seneng jomlo. Enak banget ke mana-mana sendirian tuh. Rumah juga sudah ada, meski punya Ibuk. Ibuk pasti ngebolehin saya tinggal di rumah itu terus kan?
Buat apa saya mikirin sudah punya anak, sudah mau pensiun? Rasanya desperate betul buat saya yang saat itu pengin bebas merdeka, ke mana-mana tanpa drama, dan pengin hidup lurus-lurus saja.
4. Pengin duitnya buat seneng-seneng dulu
And then, of course, saya pengin seneng-seneng dulu dengan duit hasil keringat sendiri, jadi saya menunda investasi.
Buat seorang first jobber, euforia bisa mendapatkan uang sendiri itu memang luar biasa soalnya. Apa-apa yang dulu nggak bisa kebeli karena merasa beban kalau ngabisin duit orang tua, sekarang bisa didapatkan pakai uang sendiri.
Entah berapa kali saya jual beli handphone dulu. Kalau pas dapat ekstra lemburan, saya tukar tambah handphone baru. Kalau pas bokek, saya jual, terus nggak punya handphone. LOL.
Eh tapi hidup tanpa handphone itu sungguh peaceful loh! LOL.
Belum lagi urusan saya sama mobil butut yang minta servis saban bulan itu …. Banyak orang yang bilang, udah sih, dijual aja! Bikin boncos. Tapi saya keukeuh mempertahankannya. Saya seneng ngurusinnya.
5. Pendapatan (rasanya) masih pas-pasan
Saya yang mengira bahwa investasi itu haruslah dengan modal besar tentu saja merasa bahwa gaji saya yang mini itu nggak bisa dipakai buat investasi. Karenanya, saya menunda investasi.
Saya pernah baca sih di salah satu majalah soal pengelolaan uang, utamanya yang dari gaji. Bahwa sebaiknya pos investasi para lajang itu setidaknya 20% dari penghasilan. Tapi ya, seberapa itu 20% dari gaji saya yang mini itu? Cuma bisa buat beli secuil emas, satu gram aja nggak nyampe!
Ya waktu itu mah sekuritas juga belum kayak sekarang, ada aplikasinya. Monmaap, boro-boro aplikasi smartphone, games di HP aja masih yang ular-ularan itu. Keyboard HP juga masih candybar, Ferguso.
6. Takut risiko
Investasi = risiko kehilangan duit.
Itu juga yang saya tahu. I know that fact in hard ways.
Rasanya nyesek banget, duit yang sudah dikumpulin (ketika akhirnya saya bisa menabung dan berjuang memperbaiki cash flow) hilang begitu saja. Saya nggak siap, karenanya saya terus menunda investasi.
Saya lebih rela kalau duit saya “hilang”, buat bayar admin bank. Rasanya wajar saja gitu, mereka mengutip sedikit dari uang saya sebagai “biaya” saya menitipkan uang pada mereka. Saya merasa itu ya kayak kita sewa kotak depositlah, istilahnya. Saya sama sekali nggak memperhitungkan bunga yang saya dapat.
Misalnya gini. Saya dapat bunga Rp10.000 untuk tabungan saya. Ternyata biaya admin Rp15.000. Orang lain berpikiran, lah, rugi dong ya? Bunganya lebih kecil daripada biaya admin. Rugi banget simpen uang di bank!
Saya melihatnya dari sisi yang lain. Oh, saya memang harus “sewa” tempat dong, dan biaya sewa tempat buat uang saya itu Rp5.000. Ya udah nggak papa, selama uang saya utuh dan nggak hilang. Nggak disentuh.
To be honest, saya sampai sekarang masih punya mindset begitu. Makanya saya tetap punya dana darurat yang saya taruh di tabungan biasa dengan nominal yang cukup gede.
7. Nggak ngerti mulai dari mana
Setelah akhirnya saya ngerti manfaatnya investasi, saya mulai sadar bahwa masa depan saya mesti direncanakan, saya masih tetap terbentur gimana saya harus memulainya.
Saya tahu, produk investasi itu ada banyak. Masing-masing punya karakter sendiri-sendiri, yang kalau bisa kita manfaatkan dengan baik tuh return-nya akan optimal. Jadi, mesti disesuaikan dengan kebutuhan kita. Nah, saya ngeblank ketika memilih.
Taruhlah akhirnya saya mau mulai investasi di reksa dana. Terus, reksa dana apa? Kan, ada banyak. Belum lagi, per jenisnya terdiri atas banyak produk lagi. Saya merasa overwhelmed. Lalu balik lagi ke poin 6 di atas; saya takut uang saya hilang kalau sampai salah memilih.
Semangat Saja, Meski Terlambat!
So, long story short, akhirnya saya memang bisa memulai, setelah menunda investasi sekian lama. Perjalanan yang sungguh melelahkan, tetapi terobati dengan melihat hasilnya yang cukup signifikan sekarang.
Saya bisa pukpuk diri sendiri juga akhirnya, sambil bilang, “You’re getting there. Good job.”
Meski terlambat, tapi masih ada waktu buat mengejar.
Yang penting sekarang, semangat belajar terus dan mencoba terbuka untuk berbagai informasi dan update ilmu baru. Tapi juga jaga, supaya jangan FOMO. Ini nih yang sekarang justru jadi godaan saya. Pengin nyoba instrumen ini itu yang lagi ngehype. Untungnya ya, beberapa kali bisa mengerem diri sendiri.
Itulah alasan saya menunda investasi. Kalau kamu, apa alasan kamu menunda investasimu?