Perkenalan saya dengan instrumen investasi saham tak lepas dari peran serta pemilik blog ini.
Sebelumnya, sudah baca kan bagaimana awal “perkenalan” saya dengan investasi? Cukup bikin kapok. Dari situ, saya lama sekali menjauhi kata “investasi”.
Tapi ya, pada akhirnya, saya sadar kok, betapa pentingnya investasi. Apa yang membuat saya sadar? Lalu kenapa akhirnya saya mau belajar sedikit demi sedikit tentang investasi saham? Instrumen apa yang akhirnya saya pilih? Yuk, boleh disimak sampai selesai.
Disclaimer: Artikel ini bukan ditulis oleh Bang Mamat. Penyebutan beberapa emiten saham di bawah ini BUKAN MERUPAKAN REKOMENDASI. Lakukan analisis yang saksama setiap kali kamu hendak membeli saham. Termasuk setelah membaca artikel ini.
[toc]
Saya Sadar Pentingnya Berinvestasi
Saya awam banget dengan investasi. Pelajaran keuangan saya sebelumnya hanyalah: bekerja supaya dapat uang, simpan uang yang sudah didapatkan dengan bekerja, ambil seperlunya untuk memenuhi kebutuhan. Sudah itu saja.
Hingga kemudian saya tahu beberapa fakta penting mengenai investasi:
1. Inflasi
Dulu duit seratus ribu bisa saya pakai untuk memenuhi kebutuhan selama satu bulan. Memang sih, waktu itu saya masih single, belum banyak kebutuhan. Tapi ya memang kerasa banget. Beras saja masih Rp5.000 per kilogram. Sedangkan, sekarang beras sudah dua kali lipatnya.
Gaji sih memang naik, tapi rasanya semakin sedikit saja barang yang bisa dibeli dengan jumlah gaji yang saya terima.
2. Duit nggak suka ditimbun aja
Saya akhirnya juga belajar, bahwa semakin kenceng kita nyimpen uang—semakin pelit kita mengeluarkannya—ternyata makin seret juga uang datang.
I don’t know why and how, tapi begitulah kenyataannya.
Duit itu kayak ngerti dan baperan. Kalau dia hanya dibiarkan nganggur dan cuma ditimbun, kok ya rasanya rezeki juga tersendat datang.
Merasa demikian, saya coba untuk memanfaatkan senominal kecil dulu untuk investasi di reksa dana dan saham. Loh, ternyata setelah saya coba investasi (lagi), saat itu job juga berdatangan.
3. Banyak kebutuhan, tapi tenaga saya terbatas
Iya, sebagai seorang freelancer, saya bisa menerima job sebanyak apa pun. Tapi toh teteup saja, tenaga saya terbatas.
Tapi, memangnya, kebutuhan itu peduli sama keterbatasan tenaga saya? Enggak.
Jadi, untuk memberi alternatif terhadap kerjaan yang aktif saya lakukan—ketika saya “mempertukarkan” energi, pikiran, dan waktu (serta kesehatan mental, in some cases)—saya pun pengin mendapatkan stream income lain yang bisa meng-generate penghasilan secara otomatis.
jadi, saya belajar (lagi) investasi. Dan, saham—terutama saham tipe dividen aristokrat—saya lihat berpotensi untuk bisa memenuhi harapan saya akan income pasif tambahan itu.
4 Investasi Saham Pertama
Setelah saya belajar sana-sini, saya memutuskan cara terbaik untuk mulai investasi saham pertama saya adalah dengan menargetkan untuk beli saham emiten perusahaan bagus. Saya pun berkenalan dengan saham blue chip.
Saya akui, selama beberapa waktu saya masih puyeng untuk bisa mempelajari laporan keuangan perusahaan emiten saham terkait. Mana banyak pun. Masa iya mesti lihat satu per satu? Hadeh … tolong.
Jadi, gimana caranya saya bisa memutuskan untuk memilih emiten tertentu? Well, mari kita lihat saja deh sekalian kenalan dengan 4 emiten saham yang saya punya.
1. TLKM
Saham perusahaan telekomunikasi milik negara ini merupakan saham yang paling pertama saya beli. Mengapa akhirnya saya memutuskan untuk investasi saham TLKM? Ada beberapa alasan:
- Saya pakai Indihome buat koneksi internet utama untuk bekerja sebagai freelancer. Meski ada sekali dua kali ngeselin, tapi terbukti so far memang Indihome yang paling stabil saya rasakan ya koneksinya. Kalau saya komplain, biasanya respons juga cepet. Kadang saya merepet memang, kalau sinyal naik turun. Tapi yah, mana ada yang sempurna sih?
- Harga berlangganan Indihome itu mahal! Yes, that’s right, dan itu juga yang bikin saya gemes untuk bisa beli sahamnya. Istilahnya, kelen habisin duit saya, karena itu kelen mesti kembaliin dalam bentuk dividen. Awokawokwaok.
- Saya lihat perusahaan telekomunikasi lain pada patah tumbuh hilang berganti. Kadang muncul yang baru, terus ngilang. Atau, ternyata dicaplok perusahaan lain. Begitu terus. Ada yang mau caplok Telkom? Kayaknya enggak. Jaminan perusahaan milik pemerintah saya kira akan lebih stabil secara pengelolaan bisnis. Meski memang ada satu musuh terbesarnya: korupsi.
- Sampai akhir tahun 2020, pelanggan Telkom itu sudah 8 juta. Mereka menguasai 85% pasar fixed broadband. Nggak ada rival, setidaknya sampai sejauh ini.
Saya beli TLKM pertama kalau tidak salah di kisaran harga Rp3.600-an. Di awal-awal pertama, rasanya lama sekali tak ada pergerakan. Namun, kemudian selang beberapa waktu, ternyata harganya bergerak naik, bahkan sampai puncak di sekitar Rp4700-an.
Lalu, pandemi menghantam. Harga TLKM termasuk juga yang terempas. Bahkan sampai ke angka Rp2.500. Di angka Rp2.700-an saya sempat serok lumayan. Dan ketika artikel ini ditulis, harga saham TLKM ada di kisaran Rp3.200 – Rp3.400.
Kalau dilihat dari harga awal, memang harga hari ini masih di bawah. Tapi mengingat saya cukup banyak serok saat berada di bawah Rp3.000-an, maka nilainya masih plus.
2. BBRI
BBRI atau BMRI ya? Saya cukup galau sih memilih dua emiten perbankan tersebut. Saya punya tabungan di BMRI sebenarnya, tapi harganya waktu itu yang senilai Rp8.000-an terlalu mahal buat saya. Modal saya nggak nyampai.
Akhirnya saya memang mencari alternatif kedua. Saya lihat harga per lot BBRI terjangkau. Padahal, kantor cabangnya itu sangat mudah ditemukan. Bahkan kalau saya jalan-jalan ke pinggiran kota, saya selalu menemukannya. Ini bukti, bahwa BRI memang punya pasar yang luas dan lebih banyak menyasar ke masyarakat kecil.
Akhirnya saya beli 5 lot pertama di harga Rp3.900. Seiring waktu, saya lihat pergerakan yang menggembirakan. Jauh lebih cepat dan baik daripada TLKM.
Saat pandemi datang, sempat terempas ke level Rp2.170. Saya sempat ambil lagi cukup banyak di level Rp2.500 hingga Rp3.000-an. Awal tahun 2021, ternyata harganya melejit, bahkan sampai menyentuh Rp4.890.
Meski cuan sudah cukup banyak, tapi saya berniat menyimpan saham emiten ini untuk jangka waktu panjang. Jadi saya biarkan sampai sekarang, dan saya tambah koleksinya setiap bulan. Moga-moga bisa mencapai minimal 100 lot sesegera mungkin.
3. UNVR
UNVR juga merupakan salah satu saham incaran saya dari awal. Simpel banget sih alasannya, karena saya pakai buanyak sekali produknya. Dari kamar mandi, meja rias, meja makan sampai dapur, ada semua produknya.
Tapi ketika mau beli untuk pertama kali, saat itu saham UNVR harganya ada Rp11.000-an. Jelas itu sangat jauh di luar jangkauan saya. Eh, ternyata, tak berapa lama kemudian, UNVR melakukan stock split. Saya pun menabung dulu untuk bisa beli lot pertama, di harga Rp8.000-an.
Kalau saham BBRI dan TLKM bisa saya beli secara rutin, tidak demikian dengan UNVR. Ndilalah pandemi, harganya juga sempat nyungsep. Tak berapa lama naik, eh nyungsep lagi sampai sekarang. Hahaha.
Tapi berhubung saya memang belum berniat untuk memakai dananya, ya biarkan sajalah. Selama saya masih pakai produknya, saya butuh dividennya. LOL.
4. ANTM
Entah kenapa saya tertarik investasi saham ANTM. Mungkin karena saya punya sedikit produknya. Saya cuma ingat, saya pengin punya satu saham bagus dengan harga murah. Dan saya menemukan ANTM ini saat itu di level Rp700-an.
Yang ini memang nekat dan spekulatif sih. Hahahaha. Mendingan jangan ditiru. Secara impulsif, saya langsung beli 10 lot. Karena ya, mumpung lagi ada dananya. Deg-degan sih, pas belinya. Nominalnya enggak banyak, tapi ya teteup. Berasa lagi mempertaruhkan duit segitu. Sambil komat-kamit, semoga cuan, semoga cuan, semoga cuan.
Ndilalah, isu Tesla mau bangun pabrik di sini berembus. Lhadalah, harga ANTM langsung terbang. Bahkan sampai harga Rp3.000-an per lembar.
Saya pun tertawa bahagia. Meski kesel juga sih, kenapa nggak ambil sekalian 100 lot ya kemarin? Kan, langsung milestone pertama. Awokawokawaok.
Sampai sekarang, masih saya simpan, dan saya tambah secara rutin. Seperti juga investasi saham yang lain, saya berniat menyimpannya dalam jangka waktu panjang.
Investasi Saham: Lakukan dengan Benar
Seiring waktu, saya juga sering lihat pompomers saham ini berceloteh sana-sini. Merekomendasikan saham A, B, C … dan seterusnya. Saya sempat tergoda sih, di awal pandemi, untuk membeli saham-saham emiten kesehatan. Terutama yang memproduksi vaksin.
Tapi kok ya, nggak ada gregetnya aja gitu di saya. Hal ini akhirnya membuat saya “sempat” untuk mempelajari emiten-emiten ini lebih jauh. Saya menemukan fakta, bahwa valuasinya nggak segitu-gitu amat. Ya, akhirnya saya memilih skip saja sih. Begitu juga ketika ada ustaz yang merekomendasikan berbagai saham BUMN. Well, saya punya TLKM, BBRI, dan ANTM sih. Tapi saya juga nggak tertarik untuk saham BUMN lain. Seenggaknya sekarang.
Saya cuma berprinsip, hanya mau beli saham dari perusahaan yang saya akrab betul. Ibaratnya, kalau mau ngasih modal, ya ngasih modalnya ke teman. Kalau nggak kenal, ya mikir-mikir juga. Dan waktu untuk berpikir inilah yang kadang nggak ada. Pasalnya, kan saya bukan full time investor. Apalagi value investor yang butuh mempelajari fundamental perusahaan dengan teliti.
So, kalau kamu mau juga investasi saham, lakukanlah dengan benar. Belajar sama orang-orang yang tepat. Saya sarankan sih, hindari belajar dari orang-orang yang sukanya merekomendasikan saham. Biasanya sih udah nggak bener duluan, karena seharusnya pemilihan emiten saham yang hendak dibeli itu menjadi keputusan pribadi masing-masing orang.
Nggak usah dengerin pompomers!