Setiap orang pasti punya masalah keuangan terlebih di usia 20-30 tahun, termasuk saya.
Cuma, saya enggak sadar sama sekali bahwa saya sedang menghadapi masalah keuangan saat itu. Baru sekarang-sekarang saya saya ngeh, kalau di usia 20 tahun itu sebenarnya saya punya masalah keuangan yang cukup serius. Kalau kebiasaan saya berlanjut, bisa jadi juga dampaknya akan makin parah sekarang.
Hidup terlalu woles, tanpa ngoyo, berusaha selalu mensyukuri segala yang ada, nrimo, ternyata didn’t get me anywhere. Dan, akhirnya itu menjadi comfort zone saya.
Disclaimer dulu: Tulisan ini tidak ditulis oleh Dani Rachmat.
[toc]
My Comfort Zone yang Melenakan
Memang ada sekali dua kali saya ngebandingin diri sendiri sama orang lain—terutama sama orang-orang yang sebaya sama saya. Tapi, biasanya sih dengan cepat saya kembali lagi rel saya sendiri.
Kerjaan ada (walau gajinya abis bulan abis juga) tapi patut disyukuri. Untuk lifestyle pun saya termasuk tipe yang nggak suka ikutin tren, misalnya ada gadget terbaru lagi hype, saya mah mikir dua kali untuk beli. Alasannya simpel, duit nggak cukup dan simply enggak butuh kalo gadget saya sendiri juga belum rusak. Tapi, begitu rusak dan perlu diganti, saya juga kalang kabut. Nggak punya duit buat beli.
Barangkali ini hikmahnya dari gaji kecil ya, saya jadi bisa meredam keinginan untuk beli ini-itu. Sampai sekarang pun kebiasaan saya ini masih melekat. Saya akan berpikir dua kali untuk membeli barang, menimbang butuh apa sekadar ikut tren saja.
Seluruh kesalahan pengelolaan keuangan yang saya lakukan di usia 20 – 30 tahun tersebut, akhirnya berdampak juga sekarang.
Nggak Siap Pensiun
Masalah keuangan terbesar saya adalah nggak punya tabungan! Gaji habis begitu saja. Saya nggak pernah terpikir dengan nominal sedikit saja sebenarnya kita tetap bisa menabung.
Akibatnya, saya telat kepikiran pensiun. Dampaknya lagi, saya bener-bener kerja bagai quda, heboh investasi sana-sini ketika mulai masuk ke late 30s. Demi apa? Demi uang pensiun. Padahal kebutuhan di late 30s itu udah numpuk semua. Sudah harus ada dana pendidikan anak juga.
Kalau saya sudah siap sejak saya pertama kali bekerja, barangkali di usia sekarang ini, saya sudah tinggal santay aja. Nyatanya, saya masih mesti kerja 10 – 12 jam sehari. LOL.
Sungguh menyesal saya ngerti akan hal ini sekarang. Tapi, yah, daripada terlambat sama sekali. Barangkali saya masih dikasih waktu 10 – 15 tahun lagi deh buat kerja ya. Untungnya saya freelancer sih, jadi saya bisa putusin sendiri kapan mau pensiun.
Cuma ya, kalau bisa mulai rebahan sepanjang hari di awal usia 50 kan enak ya?
Nggak Punya Asuransi
Di usia itu saya belum mengenal asuransi. Saya kan masih muda dan sehat-sehat saja. Ada sih penyakit yang diakibatkan oleh alergi. Tapi, asal saya jauh-jauh dari alerginya, semua juga akan baik-baik saja.
Waktu itu, saya punya mindset, kalau saya beli asuransi, apa untungnya buat saya? Toh, kalau nggak diklaim, duit juga ilang kan? Lagian waktu itu belum ada BPJS Kesehatan. Jadi, kalau mau punya asuransi kesehatan ya, mesti asuransi swasta. Menghadapi agen asuransi itu bak menghadapi orang MLM buat saya. Malesin banget.
Saya boleh reimburse kantor sih kalau misalnya sakit, asalkan saya ke dokter. Buat sakit-sakit ringan, seperti flu atau kalau asma kumat, ya ini sudah cukup. Bahkan biasanya, istirahat sehari juga cukup kok.
Itu pemikiran saya. Jadi ya, boro-boro asuransi jiwa deh.
Saya sadar pentingnya asuransi ketika saya melahirkan anak pertama. Karena harus menjalani C-section, kebayang berapa duit harus dikeluarkan untuk ongkosnya. Dadakan banget juga, karena baru ketahuan kalau kondisi tulang tubuh saya tidak memungkinkan untuk melahirkan secara alami itu seminggu menjelang HPL. Jadilah dokter saya langsung menjadwalkan operasi 3 hari kemudian.
Dan begitu melihat rincian biaya … Oh. My. God.
Dengan adanya asuransi plus benefit dari kantor suami, akhirnya saya dan suami kalau dihitung-hitung hanya cukup membayar beberapa puluh ribu saja buat biaya melahirkan dengan C-section. Huhuhu. Untung suami saya pinter.
(((pinter)))
Nggak Berani Investasi
Masalah keuangan kedua ini juga akhirnya berpengaruh ke dana pensiun. Mendengar kata investasi di zaman itu, rasanya jauh banget. Bagi saya, investasi itu harus banyak duit. Kudu kaya dulu. Lha, duit saya aja pas-pasan, ngapain investasi?
Karena ketidaktahuan saya akan investasi, saya pun terjebak dalam investasi bodong. Saya main percaya saja dengan tawaran imbal hasil yang besar dari investasi tersebut. Tapi, dari kebodohan saya itu, saya belajar banyak untuk bisa lebih hati-hati lagi dalam berinvestasi.
Tapi, kehati-hatian saya terlalu jauh. Saya sampai nggak berani lagi buat investasi apa pun. Ketika akhirnya gaji saya naik, dan saya berhasil melepas mobil butut saya, gaji jadi bersisa sedikit. Itu juga saya timbun aja di tabungan. Terus, KZL liat tabungan yang setiap kali malah minus karena biaya admin yang lebih gede dari biaya bunga. Tapi ya mau gimana lagi?
Akhirnya ya gitu deh, mana siap saya pensiun? Balik ke poin pertama di atas.
Takut Utang
Banyak yang mengharamkan utang. Saya bukan mengharamkan sih, tapi saya pikir, ngapain utang buat hal-hal yang nggak penting?
Tapi, ternyata utang ada manfaatnya. Misalnya saya sudah ngerti pengelolaan keuangan dengan baik, saya bisa ambil utang, barangkali saya sekarang sudah punya rumah sendiri. Bisa saja enggak saya tinggali, karena saya tinggal bareng Ibuk, tapi kan bisa saya sewain? Bisa ngasih penghasilan pasif buat saya.
Yah, saya terlambat sadar, hingga terlambat juga punya aset aktif. Masalah keuangan yang akan membesar seiring waktu, mendekati usia pensiun.
Duit Hari ini untuk Hari ini, Besok Dipikir Besok
Untuk pekerja newbie, tinggal sama Ibuk, gaji minim, motto yang saya usung adalah duit hari ini untuk hari ini. Besok? Ya besok aja dipikirin.
Ya bukan mau nyalahin gaji yang kecil, tapi itulah realitanya. Tidak ada beban, masih jomlo dihabisin saja duitnya. Ngapain repot mikir yang susah-susah, ya. Yang penting masih kerja dan terima gaji, so what?
Ditambah lagi saya masih dapat uang saku dari kakak-kakak. Ini sungguh comfort zone yang melenakan. Membuat saya terlalu pasrah banget dengan hidup saat itu.
The Bottom Line is …
Kalau ditanya kesalahan pengelolaan keuangan di atas membuat saya menyesal atau tidak? Jawabannya iya. Saya sadar sekarang, bahwa masalah keuangan yang saya hadapi sekarang disebabkan oleh kesalahan pengelolaan di masa lalu, yang saya enggak sadar melakukannya.
Sekarang ini zamannya sudah jauh berbeda, keran informasi terbuka lebar. Ini benar-benar saya manfaatkan untuk memperbaiki apa yang salah di waktu lalu. I’m working on it. Setidaknya satu per satu masalah keuangan sudah ketemu cara dan jalannya. Saya sedang menjalani semua jalan dan rencana itu sekarang.
Untuk kamu yang pernah mengalami kondisi seperti saya, ingat saja. Bahwa semua orang memiliki struggle yang tidak bisa diukur dari kacamata satu orang saja. Yang menjadi intinya adalah belajar-belajar-belajar agar tidak ada lagi kesalahan sama yang terjadi.
Terima kasih untuk diriku yang dulu, darinya saya belajar banyak. Saya tidak berkecil hati dengan kesalahan yang lalu hingga memunculkan berbagai masalah keuangan di masa sekarang, karena saya sadar timing tiap orang itu berbeda.
So, inilah saya sekarang yang sudah bisa berinvestasi, berani utang produktif, dan punya dana darurat dengan jumlah yang ideal!
Bambang Irawan
Hai mas Dani, salam dari blogger lain. Saya suka artikel ini karena mengajarkan kita agar mengelola keuangan lebih baik, khususnya di usia-usia produktif kita di umur 20-30 tahunan. Kerennya blog ini, pakai gaya bahasa sendiri. Sukses selalu yah
dani
Halo Mas Bambang. Terima kasih ya sudah main dan membaca artikel blog ini. Really appreciate your insight! 🙂