Jam 6.50 malem. Stasiun Sudirman. Sudah 25 menitan gw nunggu kereta ke arah Tanah Abang untuk lanjut ke Serpong. Tentu saja bersama fellow commuter lain yang mungkin sudah jauh lebih berpengalaman di banding gw.
Jamak gw lihat orang-orang berpakaian rok pendek hitam atasan putih berlari dengan membawa blazer sebagai pelengkap 3 pieces suitnya. Sedangkan para pria berpakaian celana gelap berpotongan lurus dan baju lengan panjang garis-garis yang digulung sampai ke siku. Beberapa di antara mereka membawa ransel yang kemungkinan berisi laptop dan gadget canggih lainnya. Wajah-wajah terlihat lelah setelah seharian menghadapi kerumitan transaksi bernilai jutaan rupiah di kantor mereka.
Diantara para penduduk mobile jakarta itu gw lihat pemandangan menarik. Beberapa dari mereka memakai kostum yang terasa off season. Duduk dilantai, beberapa Ibu menggendong anak-anak yang terlihat lusuh tak terurus dengan selendang batik mereka. Terlihat usia salah satu dari mereka bahkan belum layak dipanggil Ibu. Mereka terlihat ceria bercanda. Dan pas gw naik commuter line, berebutan untuk bisa dapet posisi wuenak, mereka tetep santai. Siapa sih mereka?
Gw ga ada kesempatan menginterview mereka karena takut kalo sampe ketinggalan kereta. 😛 sudah pasti mereka penduduk mobile Jakarta yang hanya punya waktu beberapa jam saja tinggal di Jakarta. Kalo bukan, ngapain mereka udah ngetem di stasiun jam segitu? But what they do? Mempertimbangkan waktu mereka di stasiun, gw hampir yakin kalo mereka adalah para joki ‘three in one’ yang baru saja selesai menjalankan mis hariannya.
Peraturan three in one mengharuskan pengguna mobil pribadi mengangkut minimal 3 orang antara rentang waktu tertentu di pagi dan sore hari, Jam 7-10 pagi dan 5-7 sore, dengan tujuan untuk mengurangi kemacetan Jakarta. Tujuan yang mulia tetapi pada prakteknya malah menimbulkan perkara. Kalo dipikir-pikir berapa banyak yang dalam satu keluarga memiliki 3 orang anggota keluarga yang bekerja di downtown Jakarta? Atau 3 orang yang mungkin saling mengenal satu sama lain di kantor dengan arah rumah yang sama? Slim chance. Kalopun ada mereka mungkin sudah punya mobil sendiri-sendiri.
Kekurangan penumpang inilah yang akhirnya membuka peluang usaha baru. Yup, Joki three in one. Orang yang bekerja profesional untuk sit in di mobil pribadi penduduk Jakarta dengan upah tertentu. Setahu gw sih Rp. 10 ribu per orang sekali naik. Gw ga tahu pastinya. Maklum gw belom pernah nyewa mereka. Bukan karena ga mampu bayar sih, tapi karena belom punya mobil. :P. Nah siapa yang manfaatin peluang ini? Awalnya gw kira hanya orang-orang yang tinggal di Jakarta tanpa pekerjaan sampai akhirnya malem ini gw lihat orang-orang tadi. Turns out that even people from remote area also take the opportunity.
Kalo diasumsiin sekali naik Rp. 10 ribu dengan waktu perjalanan 15 menit dan dalam sekali beroperasi apes-apesnya cuma dapet 2 berarti selama 1 jam mereka dapet rata-rata Rp. 10 ribu. Tiket kereta buat mereka berangkat ke Jakarta Rp. 2 ribu sekali jalan, penghasilan bersih perhari mereka Rp. 6 ribu. Kalau sebulan mereka sudah bisa punya penghasilan Rp. 120 ribu per jam tanpa harus susah-susah kerja. Lumayan menggiurkan dibanding dengan membersihkan toilet 8 jam sehari dengan gaji Rp. 500 ribu – Rp. 800 ribu sebulan. Every one without any job will do this. Bahkan yang tinggal 2 jam perjalanan kereta dari Jakarta.
Efeknya? Jakarta semakin jauh dari tertib lalu lintas.
bintangtimur
Tujuan mulia yang pada prakteknya menimbulkan banyak perkara…
Saya sependapat Dan, hitung-hitungan yang ditulis di posting ini logis banget. Buat apa kerja capek-capek kalau ternyata ada cara ‘lebih mudah’ buat mendapatkan uang?
Biarpun saya tetep nggak mau, kalau disuruh jadi joki three ini one itu…
Tapi kalau urusannya berhubungan langsung dengan perut, pasti makin banyak yang tergoda buat menjalani profesi ini. Tidak tertibnya kota Jakarta, bukan lagi menjadi bahan pemikiran mereka dan lagi-lagi dibebankan pada negara…
Ups, mulai emosi 😉
danirachmat
Kalo ngomongin Jakarta, tidak meratanya kesempatan dan hal-hal semavam itu emang bikin siapa saja emosi Mba. 😀
Kami yang tinggal (permanen ataupun sementara) di Jakarta ini jadi cuman bisa mengelus dada aja dan pada akhirnya bersikap apatis ketika sudah sampai dititik yang paling parah. Terlalu banyak simpul untuk diurai sampai-sampai bingung mau mulai dari yang mana. 🙁
*ehlakok curhat. 😛
Asop
…..bahkan joki pun sudah menjadi pekerjaan tetap. 🙁
danirachmat
sadly but yes, it is true. 🙁