Circa tahun 2000-an memang belum ada platform fintech semacam P2P Lending, tetapi saya sempat “belajar” mengenai peminjaman modal. The hard way, but. Saya (dan keluarga) terjebak investasi bodong.
Mari ikuti perjalanan saya berkenalan dengan investasi bodong.
Disclaimer: Artikel ini bukan ditulis oleh Bang Mamat.
[toc]
Kenalan dengan Skema Penanaman Modal Bisnis
Di circa tahun 2000-an, saya memang belum pinter soal keuangan. Tapi, saya tahu, bahwa investasi itu bisa jadi sumber income yang bagus. Saya belum paham sih, bahwa investasi itu penting untuk bisa melawan inflasi, untuk harus direncanakan dengan matang, dan sebagainya. Tapi saya tahu, investasi identik sama cuan. Meski demikian—juga karena kekurangpahaman saya—saya ada merasakan, bahwa investasi itu kok kayak spekulasi.
Dari sini, saya lantas memutuskan untuk lebih berhati-hati.
Pengalaman Penanaman Modal Pertama
Mari awali dulu dengan perkenalan saya dengan penanaman modal ini. Dari awal, saya memang kurang nyaman dengan cara ini, tapi mengingat imbalnya lumayan, maka saya pun jadi terdorong untuk punya nyali. Karena itu, jalan untuk berkenalan dengan investasi bodong pun terbuka.
Ada seorang teman, yang sedang merintis bisnis dagang. Dagang apa, saya kok lupa. Pokoknya dia ini teman kantor, dan dia—yang sudah menikah di usia muda—tahu bahwa saya jomlo yang nggak terlalu banyak tanggungan. Dipikirnya, ketimbang uang gaji saya dianggurin, mending dia pakai, diputerin buat usaha.
Saya sebenernya paling males kasih utang ke siapa pun. Males nagihnya, soalnya. Pasalnya, saya pikir, ya kalau semua orang kayak saya, yang rasanya nggak enak banget punya utang dan sebisa mungkin, secepat mungkin melunasi. Tapi teman saya itu menjanjikan bunga. Nggak terlalu besar, tapi ada.
Singkat cerita, saya pun jadi meminjamkan sedikit dana padanya. Sebulan kemudian, dia sudah memberikan bunga pada saya. Itu terjadi sampai kira-kira 6 bulan berikutnya. Lalu, saya dapat bisikan roh HRD, bahwa teman saya itu mengajukan resign.
Eits! Rasa percaya saya yang tadinya sudah terbangun, tiba-tiba drop lagi. Jenjangan dia mau lari, nggak mau ngembaliin utang pokok?
Saya pun buru-buru mengonfirmasi. Ternyata, saya suudzon. Dia memang berniat resign, dan akan mengembalikan utang pokoknya dua minggu lagi. Dua minggu berikutnya, dia datang ke rumah saya—bersama istrinya—dan mengembalikan utang pokoknya.
Dari pengalaman pertama ngasih pembiayaan ini, saya dapat imbal yang lumayan. Saya pikir, wah, enak. Nggak usah kerja, bisa dapat uang. Meski deg-degan, kayaknya saya nggak nolak kalau ada peluang lagi.
Sekeluarga Mencoba Jadi Penanam Modal
Dan, kemudian, entah bagaimana awalnya saya lupa, tiba-tiba saja Ibuk dan kedua kakak saya sudah berinvestasi pada bisnis pembuatan nata de coco rumahan.
Saya cuma ingatnya, di suatu hari, kami dikirimin sekotak besar dus berisi produk nata de coco. Ternyata itu semacam “welcome notes” dari si pemilik bisnis nata de coco, yang entah dari mana berkenalan dengan Ibuk, pada investor baru.
Kalau tak salah ingat, Ibuk dan kedua kakak saya patungan untuk menanam modal pada bisnis tersebut. Kami sempat mengunjungi yang kami kira tempat usahanya. Tapi, kok sepi. Ternyata setelah dihubungi, tempat produksinya ada di salah satu kabupaten di provinsi domisili saya. Sedangkan, kami tinggal di ibukota provinsi.
Dengan sedikit basa-basi, akhirnya kami berjanji untuk datang berkunjung lain waktu. Karena ya, butuh kira-kira 1 jam perjalanan untuk datang ke tempat produksi seperti yang disebutkan.
Selama beberapa bulan kemudian, investasi berjalan dengan baik. Hingga akhirnya satu periode pun selesai. Modal kami dikembalikan utuh, dan bunga telah diberikan juga pada bulan-bulan sebelumnya tanpa absen.
Tanda-Tanda Investasi Bodong Mulai Tampak Nyata
Si pemilik bisnis kemudian bilang, dia butuh modal lagi. Katanya, pengin ekspansi. Sambil bawa sekotak besar nata de coco tentunya. Bunga yang dijanjikan juga lebih besar, kalau tak salah ingat, sampai 15% lebih. Tapi, sebagai syarat, dia juga butuh modal lebih.
So, karena melihat bahwa proses investasi pada periode sebelumnya lancar, keluarga kami pun sepakat mau kasih modal lagi. Malahan sempat ngajak mertua kakak saya juga buat nambah modal. Total, kami bisa kasih sekian puluh juta rupiah sebagai suntikan modal.
Periode kedua penanaman modal pun dimulai.
Beberapa bulan, memang berjalan baik. Kami mendapatkan apa yang dijanjikan. Bunga tinggi dan langsung ditransfer ke rekening kami.
Setelah beberapa lama, bunga hanya diberikan setengahnya. Di sini, kami sudah mulai meningkatkan kewaspadaan. Beberapa kali dihubungi, dan dimintai alamat pasti di mana tempat produksinya, selalu ngeles. Atau, kalau enggak, nggak angkat telepon.
Setelah beberapa lama lagi, bunga berhenti diberikan. Padahal saat itu, mungkin baru sepertiga periode berjalan.
Si pemilik bisnis sudah tak bisa dihubungi lagi. Teleponnya tiba-tiba mati, bahkan nada panggil pun tak ada.
Saat itulah, kami tak bisa apa-apa lagi. Saya—yang nggak sempat ikut di periode pertama—ikut patungan modal di periode kedua ini. Nggak banyak, kalau dibandingin yang dikeluarkan oleh kakak, Ibuk, dan mertua kakak saya.
Kesalahan terbesar: tak ada surat hitam di atas putih. Jadi, kami tak bisa memperkarakannya ke pihak berwajib. Lagi pula, kami sudah apriori duluan sih, biaya ngurus ke polisi pasti bikin kami lebih boncos lagi.
Kakak Saya Belum Kapok
Ternyata, sudah mengalami kerugian sebegitu banyak, salah satu kakak saya enggak kapok. Dari sebuah penawaran di koran, dia tertarik untuk berinvestasi pada sebuah toko bahan bangunan, yang menawarkan bunga yang cukup menarik.
Sebelum akhirnya memutuskan untuk menyuntikkan modal, dia samperin dulu toko bangunannya. Ya, belajar dari kesalahan yang lalu, pastikan bahwa tempat usahanya bener-bener ada. Dan ternyata, toko bangunannya memang ada. Nggak besar, tapi lumayanlah. Lokasinya juga di pinggir jalan yang lumayan ramai.
Intinya, cukup prospektif.
Maka, kakak saya itu pun menyuntikkan dana dengan nominal yang cukup besar.
Setelah beberapa lama, bunga kembali macet. Rasanya sejarah terulang lagi nih. Kakak saya pun ajak saya untuk nyamperin si toko bangunan.
Ternyata, tokonya sudah nggak ada.
Oh well … Kejadian lagi deh. Kakak saya langsung lemes, bahkan belum sempat keluar dari mobil.
Oke, mari coba positive thinking. Mungkinkah tokonya pindah? Tapi, kalau benar pindah, kok nggak ada kabar sama sekali ya? Dihubungi juga nggak bisa? Panggilan dialihkan terus?
Moral of The Story …
Saya belajar senyata-nyatanya tentang risiko investasi. Memang, dana saya nggak banyak. Tapi, mengingat itu adalah dana patungan mulai dari Ibuk, kakak-kakak saya, saya sendiri, sampai mertua kakak saya, ya jadinya nominalnya besar. Korbannya juga “cukup banyak”.
So yeah, meski kita sudah berusaha berhati-hati, kadang yang namanya risiko investasi itu ya ada aja. Saya sempat takut berinvestasi setelah itu. Saya merasa, uang susah-susah dikumpulin, eh ilang gitu aja … Rasanya kayak dirampok.
Itu saja kami sempat berusaha datangi dulu tempat usahanya, ketemu pula sama orangnya. Apalagi sekarang kan, ketika apa-apa bisa dilakukan secara online, nggak harus bertemu. Peluang risiko investasi bodong semakin tinggi.
Jadi, selain tetap waspada, berdoalah. Semoga, kamu tak harus berurusan dengan penipu-penipu semacam ini.