Beberapa kali saya melihat keluhan, sindiran, atau hal-hal lain bernada menyalahkan about being a sandwich generation. Seolah-olah dengan menjadi seorang sandwich generation itu cilaka banget.
Benarkah secelaka itu?
Di artikel kali ini, saya akan bercerita sedikit tentang “konsep” sandwich generation, terutama dalam keluarga saya; sebuah kondisi yang konon bisa bikin kita berat menjalani hidup, tetapi sebenarnya di baliknya ada sesuatu lebih besar yang patut kita hargai.
Disclaimer: Artikel ini bukan ditulis oleh Bang Mamat, dan bukan suatu ajakan untuk meneruskan warisan sandwich generation secara cetek.
[toc]
Apa sih Sandwich Generation?
Kalau menurut Wikipedia, sandwich generation adalah:
a group of middle-aged adults who care for both their aging parents and their own children. It is not a specific generation or cohort in the sense of the Greatest Generation or the Baby boomer generation, but a phenomenon that can affect anyone whose parents and children need support at the same time.
Jadi, kalau mau diterjemahkan secara bebas, sandwich generation adalah sebutan untuk orang-orang dalam usia produktif yang harus menanggung biaya hidup keluarganya sendiri (pasangan dan anak-anaknya) sekaligus membiayai hidup orang tua dan keluarga besarnya.
So, is it a good or bad thing?
Berawal dari Nilai-Nilai yang Ditanamkan oleh Keluarga
Sejak dulu, dalam keluarga, kami diajarkan untuk saling bantu dan saling melengkapi. Mungkin terdengar terlalu bangga, tapi saya kira, kami adalah salah satu keluarga yang sangat minim adu argumen dan pertengkaran. Bahkan kala masih anak-anak—kami 3 bersaudara—tak pernah saling bertengkar seperti layaknya anak-anak yang lain. Nggak pernah ada rebutan mainan, rebutan makanan, atau rebutan apa pun. Bukan karena terus masing-masing dikasih mainan sendiri-sendiri juga, tetapi, kami memang terlatih untuk saling berbagi.
Ketika kami dewasa, nilai-nilai untuk saling membantu dalam keluarga ini ternyata bisa bertahan.
Bapak pergi saat usia saya belum lagi 17 tahun. Kami pun kehilangan tulang punggung. Saya sendiri sudah tak berani membayangkan untuk bisa jadi sarjana. Bisa terus kuliah saja, entahlah. Karena Ibuk sudah cukup lama jadi ibu rumah tangga, jadi seperti tak ada jalan bagi beliau untuk bekerja lagi. Usianya pun sudah cukup sepuh.
Tapi, kedua kakak saya maju ke depan. Mereka berusaha mencari pekerjaan meski masih mahasiswa. Dan karena mereka berdualah, saya bisa kuliah.
Sandwich Generation-kah Kami?
Ketika akhirnya kakak sulung dan kakak kedua menikah dan masing-masing sudah berkeluarga, mereka ternyata tetap memberi pensiun pada Ibuk. Sebenarnya, Ibuk juga nggak pernah meminta, toh pensiun dari kantor Bapak juga ada, dan cukuplah untuk hidup berdua Ibuk dan saya.
Tapi ternyata, membiayai keluarganya dianggap sebagai bentuk tanggung jawab kedewasaan dari kedua kakak saya. Hidup saya, dari mulai lulus SMA, kuliah, dan awal kerja, ditopang oleh kedua kakak saya. Saya tak pernah meminta, tetapi mereka yang dengan sukarela melakukannya.
Dan kemudian, sekarang kondisi berbeda.
Kakak sulung saya harus lebih dulu pergi dari kami. Pandemi COVID-19 sudah merenggutnya. Tak hanya sendirian, istrinya juga ikut pergi. Tinggallah sekarang anak-anaknya hidup tanpa bapak dan ibu. Yang paling besar masih kuliah di semester 6, yang kedua baru lulus SMA dan sedang berjuang dapat tempat di universitas incarannya, dan yang paling bungsu masih di bangku kelas 9.
Lalu, apakah bisa saya, merasa terkutuk jadi sandwich generation, mengeluh sana-sini, dan lantas abai pada mereka?
Tidak bisa.
Ndilalah, kakak kedua saya juga kena tipu dalam bisnis propertinya hingga modal pun terkuras habis. Dia pun mengalami kesulitan keuangan. Dia bilang pada saya, “I’m ok, I got this. Tapi tolong jaga Ibuk.”
Alhasil, Ibuk—meskipun masih punya uang pensiun dari Bapak—pun menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya.
Sandwich generation-kah kami? Sepertinya iya, tetapi kami dengan bangga dan bahagia menjalaninya.
It’s the family. Kalau bisa berdiri bareng-bareng, ya kenapa enggak bareng-bareng?
Yang Lebih Kuat Bantu yang Lebih Lemah
Sejak dulu, kami terbiasa dididik bahwa yang “lebih kuat” harus membantu yang “lebih lemah”.
Bukankah konsep ini memang sudah jamak di masyarakat kita, untuk gotong royong? Dalam keluarga, seharusnya juga hal seperti ini akan lebih erat lagi.
Lalu, tinggal bagaimana saja mengelola keuangannya, dan juga tentu saja, membina hubungan dengan keluarga lainnya.
Be a Proud Sandwich Generation!
Karena itu, jadilah generasi roti isi yang berbahagia. Karena, hanya kita saja yang punya privilege seperti yang berikut ini:
1. Kita dianggap mampu
Hal ini bisa menjadi motivasi tersendiri lo, agar kita semakin giat berjuang dan berkarya.
Memang sih, kalau dirasain ya berat juga, nanggung hidup orang serumah. Tapi kadang, rasa “dibutuhkan” inilah yang bikin kita untuk mau terus hidup. Iya, capek. Tahu kok, capek banget pasti. Ini memang tanggung jawab yang besar.
Tapi coba deh, karena kita sudah terbiasa bertanggung jawab atas hajat hidup sekeluarga besar, maka kita pun akan terbiasa bertanggung jawab untuk apa saja yang ada di hadapan kita.
Rata-rata orang yang merupakan sandwich generation ini adalah orang yang dapat diandalkan di mana pun loh, mulai dari soal pekerjaan, bahkan juga di lingkungan sosialnya.
Pada akhirnya, kita pasti bisa menjalani hidup dengan baik, karena banyak orang memberikan support, terutama keluarga yang kita topang hidupnya.
2. Punya harta yang paling berharga
… adalah keluargaaa. *autonyanyi
Kalau terbiasa berdiri bareng, maka hampir bisa dipastikan hubungan antaranggota keluarga juga erat. Mereka yang sandwich generation barangkali adalah orang-orang yang paling tidak egois.
Pastinya, akan sangat nyaman kan ya, punya satu squad system support seperti ini?
3. Terbiasa berbagi masalah
Ya sebenarnya ini juga tergantung pada kelancaran komunikasi yang ada pada masing-masing keluarga juga sih.
Kadang memang kalau ada masalah, akar penyebabnya tuh satu: kurang komunikasi. Dan kalau ini memang menjadi “penyakit” apalagi sifatnya menahun, ya rada sulit juga sih ya.
Tapi, terutama di masa sulit seperti ini, siapa lagi sih yang bisa diajak saling backup selain keluarga?
Tapi, Jangan Wariskan!
Dan, yes, meski saya mengaku as a proud sandwich generation, tapi tanpa bermaksud menyalahkan siapa pun, saya sadar bahwa terciptanya sandwich generation ini memang merupakan dampak dari kurangnya persiapan untuk menjalani masa pensiun. Akibatnya, bekal pensiun pun kurang. Bisa jadi bahkan, tak ada sama sekali.
Hal ini juga bisa terjadi pada kita, kalau kita abai.
Tanpa persiapan, masa pensiun yang seharusnya bisa dipakai untuk beristirahat itu justru harus diisi dengan kerja lagi, kerja lagi. Pasalnya, ya karena nggak ada pemasukan, nggak bisa makan dong.
Padahal ya namanya sudah pensiun, kondisi fisik tak lagi sama.
Lalu, kalau sudah nggak kuat bekerja dan sakit-sakitan, terus dengan pasrah saja menjadi beban anak? Oh no.
Jadi, saya melakukan beberapa hal berikut untuk memastikan saya tidak akan menjadi beban anak-anak saya kelak, pun mengelola keuangan dan hidup saya sekarang sebagai seorang sandwich generation.
1. Berinvestasi
… dengan fokus pada instrumen jangka panjang dan return tinggi.
Yes, saham. Saham kelak juga bisa diwariskan pada anak. Jadi, saya memang punya cita-cita untuk mewariskan 100 lot saham XXXX untuk anak sulung saya, 100 lot saham YYYY untuk anak kedua.
2. Merintis bisnis
… yang sustainable, yang nantinya bisa saya lepas tanpa harus saya terjun langsung menanganinya. Semoga bisa semakin besar dan berkembang nantinya.
3. Buat proporsi khusus
… mana untuk keluarga kecil dan mana yang untuk keluarga besar. Sudah pasti, tak semua kebutuhan bisa terpenuhi, karena itulah harus pintar membagi prioritas. Enjoy ajaaa …
Sebenarnya intinya kan cuma satu: dicukup-cukupkan.
4. Percaya
… bahwa ketika kita semakin banyak berbagi, maka pintu rezeki akan semakin banyak terbuka.
Nggak perlu mengeluh menjadi sandwich generation, karena katanya kan rezeki di tangan Tuhan toh? Jadi sepanjang kita berusaha, pasti ada saja jalannya untuk dapat rezeki lebih.
5. Buka komunikasi yang lancar dengan keluarga
Terutama sih: jangan anggap mereka beban, in the first place. Ini penting, agar kita tak menanamkan mindset bawah sadar kita sendiri: bahwa kita terbebani oleh keluarga.
Nah, fellas, tak perlu mengasihani diri sendiri untuk menjadi seorang sandwich generation. Diatur saja, supaya semua kebutuhan terpenuhi. Atur prioritas, satu per satu, biar bebannya tak tampak terlalu berat. Lalu ya, jalani saja.
Percayalah, it’s all coming back at you kok.