Punya anak itu … berdarah-darah. Naifnya saya, saya kira itu gampang. *ditampol* Tapi ternyata, nggak ada sekolah parenting bukan berarti bisa dengan mudah dipelajari secara autodidak. Apalagi soal pendidikan. I learned the hard way soal ini, lebih khusus lagi soal asuransi pendidikan.
Yuk, simak perjalanan saya menemukan kebenaran soal asuransi pendidikan.
Disclaimer: Artikel ini bukan ditulis oleh Bang Mamat.
[toc]
Siapa yang Sekolah? Anak atau Orang Tua?
Naifnya saya, bahwa saya pikir anak saya ntar sekolah di sekolah negeri saja kayak saya dulu. Lebih murah. Mata saya terbuka, ketika keponakan saya menolak sekolah di sekolah negeri. Maunya di sekolah swasta.
Saya lantas kepikiran, lah betul, yang sekolah kan anak-anak ya. Mau sekolah di mana, mereka yang harusnya menentukan.
Kalau dipaksain, mungkin kayak saya di masa SMP dulu. Males banget sekolah. Saya memang masuk SMP negeri yang favorit banget di kota saya. Katanya, yang masuk ke situ cuma anak-anak pinter. Dulu belum zamannya zonasi. Jadi sekolah saya juga diserbu oleh anak-anak juara sekolah dari SD luar kota.
Kebetulan, saya bisa masuk. Tapi, saya kurang sreg sebenernya di situ. Saya biasa jadi 5 besar di SD saya. Terus, di situ saya merasa masuk golongan murid bodoh. Ranking 20-an ke bawah melulu. Saya sudah menyadari itu sejak awal, bahwa temen-temen saya itu pinter-pinter semua. Dan saya nggak suka. Hahaha, saya emang sok banget. Penginnya selalu jadi yang paling pinter, tapi males saingan sama yang lebih pinter.
Mental apaan tuh? Coba marahin deh saya!
Alhasil, saya nggak suka sekolah. Bukannya bolos sih—karena meski pemberontak, saya cemen. Masih takut dimarahi. Jadi cara protesnya ya dengan nggak pernah belajar. Jadi, bayangkanlah, sudahlah bukan termasuk yang pinter di kelas, malas belajar pula. Sungguh madesu—masa depan suram.
Mari kembali ke dana pendidikan anak.
Karena berkaca pada diri saya sendiri dan juga si keponakan, maka saya sadar, bahwa sekolah itu adalah hak anak yang menjadi kewajiban orang tua untuk memenuhinya.
Karenanya, saya berjanji, nggak akan maksa anak untuk masuk sekolah negeri. Ke mana anak pengin sekolah, maka ya wajib saya penuhi. Kalau anak saya mampu dan mau masuk ke sekolah negeri, ya syukur. Nah, kalau enggak? Ya, saya juga harus siap. Terus, setelah saya survei biaya sekolah swasta sana-sini, gigit jarilah saya. Bhanyak jugha yhaaa …
Tapi saya beruntung punya suami yang lebih bisa bervisi ke depan. Saya? Sudah saya bilang, saya susah diajak mikir jauh. Suami sayalah yang berinisiatif untuk bikin tabungan dana pendidikan. Begitu saya brojol ngelahirin, dia langsung bikin.
Of course, karena ketidaktahuan, kami punya asuransi pendidikan.
4 Hal tentang Asuransi Pendidikan yang Telat Saya Ketahui
Saya dan suami memang nggak ada yang punya pengalaman dan pemahaman tentang keuangan yang cukup. Berikut ini adalah beberapa hal yang baru kami ketahui setelah sekian lama menjadi nasabah asuransi pendidikan.
1. Bukan tabungan
Asuransi itu ternyata bukan tabungan ya? Ternyata kedua hal ini jauh berbeda. Apalagi “tabungan yang memberikan imbal hasil besar” di kemudian hari itu ternyata punya istilah sendiri, yaitu investasi.
Ternyata asuransi dan tabungan itu punya definisi masing-masing yang semacam malah harus tidak boleh disatukan, karena bisa saling “membunuh”.
Maksudnya gimana sih?
Begini. Asuransi itu ada sebagai jaring pengaman ketika kita mengalami risiko keuangan. Contohnya: asuransi kesehatan, yang akan mengcover pengeluaran ekstra untuk berobat atau opname di rumah sakit. Sedangkan, investasi itu pasti mendatangkan risiko, terutama risiko pasar ketika nilai instrumen anjlok karena satu dan lain sebab. Jadi, ini jaring pengaman yang berisiko dong berarti ya?
Fungsi pengamannya jadi nggak aman lagi dong. Padahal, saya menyetorkan sejumlah uang itu maksudnya supaya dibantu disimpenin, supaya ketika nanti saya butuhkan, uang bisa saya pakai sesuai kebutuhan.
Nah, berarti ada peluang, ketika akan dibutuhkan, nilainya akan turun dong ya? Tidak ada pula jaminan dari pemerintah seperti halnya tabungan di bank.
Berarti “tabungan” saya minus dong?
Berarti bukan tabungan dong!
2. Membaca dan memahami polis itu penting
Saya juga nggak ingat sih kalau agen menjelaskan mengenai risiko yang bisa terjadi itu. Selalu saja, yang diulang-ulang potensi imbal hasil.
Saya dan suami memang diberi kesempatan untuk mempelajari polis asuransi, tetapi bahasanya yang mbulet bikin pening kepala. Kenapa nggak dibikin bahasa yang mudah saja ya? Entahlah.
Padahal dalam polis itu ada beberapa klausa penting, seperti ada potongan biaya dan komisi di awal (yang ini saja sudah mengurangi “tabungan” saya). Pemotongan untuk biaya dan komisi ini paling gede ada di 5 tahun pertama. Di 5 tahun pertama saja, tabungan saya tinggal sedikit banget.
Kok nggak nanya agen asuransi kalau nggak jelas?
Ya, gimana saya mau nanya? Orang yang nggak jelas bagian mana aja, saya juga nggak jelas. Nah loh. Mbulet kan? Gimana saya bisa tanya, kalau apa yang bikin saya bingung aja saya nggak tahu apanya.
LOL.
3. Proyeksi dan asumsi selalu salah
Hal yang selalu diulang-ulang oleh agen asuransi itu selalu pada potensi dan proyeksi imbal hasil. Ilustrasinya selalu dipenuhi dengan asumsi.
Selang beberapa tahun kemudian, saya tertohok betul ketika salah satu guru keuangan saya bilang, bahwa asumsi dalam dunia keuangan itu selalu salah. Jadi, memang harus dikelola dengan baik risikonya.
Dan, memang bener. Asumsi selalu salah.
Yang di atas kertas ilustrasi adalah proyeksi imbal hasil yang sungguh fantastis. Si pihak asuransi (katanya) akan menginvestasikan dana ke instrumen yang memiliki potensi return yang tinggi. Nggak dijelaskan secara eksplisit di mana. Tapi, saya bisa menduga sekarang. Yes, saham.
Setelah saya paham, it all made sense! Yaiyalah saham memang punya return cukup fantastis. Sayangnya, nggak ada penjelasan mengenai risiko yang tinggi pula.
Sebagai orang yang awam akan dunia finansial, saya kepikirannya, oh kalaupun misalnya nggak perform, minimal duit dana pokok saya nggak ke mana-mana deh. Paling saya nggak dapat imbal kan? Yah, nggak papa.
Pemikiran yang sungguh salah, karena tidak adanya penjelasan bahwa ada risiko yang bisa “menyedot” dana pokok yang sudah saya setorkan.
4. Nggak ada yang namanya asuransi pendidikan
Kalimat ini juga terlontar oleh guru keuangan saya yang juga bilang bahwa asumsi selalu salah tadi.
Bahwa nggak ada yang namanya asuransi pendidikan.
Kata beliau, pendidikan itu bukan hal yang menimbulkan risiko keuangan secara mendadak. Bukan misalnya seperti kesehatan atau kecelakaan yang bisa bikin kita jadi tak bisa bekerja seperti biasa lagi. Kenapa diasuransikan?
Pendidikan anak seperti halnya kita pengin punya rumah. Caranya mencapai ya, dengan menabung. Simpelnya gitu.
Lalu polis asuransi apa dong yang saya beli dulu? Ternyata setelah dilihat-lihat, itu adalah asuransi endowment alias asuransi dwiguna, yang dilabeli sebagai asuransi pendidikan demi upaya marketing. Karena memang, apa-apa saja yang dilabeli “demi pendidikan anak” atau “demi tumbuh kembang anak yang maksimal” itu akan selalu laris dibeli buibu, makemak, kayak saya ini.
Akhir Cerita …
Asuransi pendidikan anak akhirnya sepakat kami—saya dan suami—tutup di awal pandemi kemarin. Sudah pasti nilainya turun banget. Tinggal sepertiganya. Dampak pandemi akhirnya berimbas juga pada “tabungan” kami. Tadinya sih sedianya mau dipakai untuk biaya pendidikan mulai SMP sampai perguruan tinggi.
Untung saja, kamu masih punya aset lain, untuk biaya sekolah Kakak yang tahun ini mau masuk SMP, tapi nggak mau di SMP negeri. Segera saja dana itu dialokasi ulang, disetorkan ke instrumen dana pendidikan lain yang kami lebih yakin akan pertumbuhannya, dan disimpan untuk bekal ke perguruan tinggi kelak.
Sebuah kesalahan yang mahal. Tetapi yah, setidaknya kami belajar.
Kamu punya cerita sendiri soal asuransi pendidikan ini? Ayo, sharing ya! Tulis di kolom komentar, saya tunggu 😊