Sudah baca ya, gimana awal perkenalan saya dengan dana darurat, dan juga cara mengumpulkan dana darurat? Terus ada nanya, disimpen mulu, kapan dipakainya?
Yah, punya dana darurat seperti ini tuh sebenernya berharap nggak perlu dipakai sih. Karena itu artinya hidup kita lancar-lancar aja, nggak ada masalah yang terlalu besar. Ya kan?
Tapi kan, sayang duit disimpen doang, nggak diputerin? Mungkin ada yang kepikiran gitu ya? Sayangnya enggak di saya. Bahkan, saya sempat sampai di titik sayang banget kalau dipakai. Ngumpulinnya aja berdarah-darah, susah banget, Ferguso! Masa mau diputerin?
Dana darurat ya tetep dana darurat. Dana yang akan kepakai ketika kita kepepet, ada kebutuhan mendadak yang bisanya diberesin dengan duit, biar kita nggak perlu utang.
Kadang merasa sayang kalau mesti pakai, tapi hey, bukankah dana ini dikumpulkan demi bisa melewati hal-hal darurat bin mendadak ini kan?
Jadi, dana darurat sudah kepakai buat apa saja?
Disclaimer: Artikel ini bukan ditulis oleh Bang Mamat
[toc]
Dana Darurat Dipakai untuk Apa Saja?
1. Ketika gaji telat
Sebelumnya, sudah sempat cerita, bahwa saya sering banget ngalamin yang namanya gaji telat. Telat sehari dua hari, itu bukan apa-apa. Kadang saya harus sabar menunggu gaji diberikan bahkan sebulan kemudian.
Saya memang belum banyak kebutuhan. Tapi ya teteup saja, gaji telat itu bikin kacau cash flow saya—meskipun saat itu saya juga belum tahu istilah cash flow. Pokoknya bikin kacau keuangan deh, gitu.
Mau beli bensin mobil saja susah. Ya, sebenernya saya minta duit bensin ke Ibuk juga bisa. Tapi, yha, kalau kayak gitu terus, gimana bisa disebut mandiri sih?
Untung saja punya dana darurat ini. Waktu itu sih belum seberapa. Tapi masih bisa saya pakai buat beli bensin, beli pulsa, juga makan minum saja selama saya ngantor. Saya sempat jual handphone juga sih, waktu itu, demi bisa saya tambahkan ke dana darurat. Terus, saya merayu kakak saya supaya dia beli handphone baru, biar handphone dia bisa saya pakai. LOL.
2. Mobil butut turun mesin
Namanya mobil butut, adaaa … aja yang riwil. Ini itu, bolak-balik ke bengkel mesin, bengkel dinamo, bengkel kaki-kaki. Beugh!
Dan, di suatu ketika, mobil butuh turun mesin. Si mas bengkelnya kasih perkiraan, nantinya akan habis seperempat dari harga beli mobil itu. LOL.
Hadehhh …
Saya sampai merayu, biar boleh nyicil. Toh proses turun mesin juga lama kan, ada kali sebulan. Bukan apa-apa, tapi seenggaknya dana darurat saya nggak langsung habis bis, gitu aja.
3. Biaya bimbel anak
Setelah si Kakak naik kelas 5 SD, saya kepikiran untuk mengikutkannya ke bimbingan belajar.
Bukannya saya malas membelajari dia, tapi ya Tuhan, pelajaran anak SD sekarang ngeri betul. Beda sama pas saya masih SD dulu. Sampai dengan kelas 4, saya masih berusaha untuk mendampinginya belajar. Masih bisa sih. Begitu kelas 5, dan adeknya kelas 3, saya mulai berpikir untuk meminta bantuan. Kakaknya ada bimbel, si Adek sama saya. Bapaknya biar kerja aja, cari duit yang banyak. LOL.
Akhirnya, saya dan suami sepakat mengikutkannya ke bimbingan belajar. Dan, ternyata harga jasa pendampingan belajar di bimbel ini malah lebih tinggi daripada biaya sekolahnya. Hahaha.
Lagi-lagi, kebutuhan ini tertolong oleh dana darurat. Biar agak hemat, biaya bimbel yang seharusnya bisa dicicil, saya cash. Selisihnya 15% soalnya, cicilan sama cash-nya. Kan lumayan ya, gaes?
4. Renovasi rumah
Beberapa kali saya juga merenovasi rumah menggunakan dana darurat.
Waktu gempa besar, rumah kena dampak. Di beberapa tempat, keramik lantai pecah, plafon retak dan bolong, genteng pada melorot, lisplang copot. Lemari-lemari kaca ambruk dan pecah semua kacanya. Isinya yang berupa barang pecah belah juga remuk. Segitu aja, saya masih bersyukur. Masih dikasih hidup, rumah rusak, tapi masih berdiri kokoh. Lihat tetangga belakang rumah, pada ambruk rata tanah.
Waktu itu, saya memang masih belum banyak punya dana darurat. Patungan sama Ibuk buat benerin rumah satu per satu.
Lalu, baru kemarin kepakai juga dana daruratnya. Pintu garasi dan pintu pagar harus diganti rodanya, karena sudah aus. Lumayan juga habisnya. Setara sama uang SPP anak 2 bulan.
Sempat juga ngecat ulang rumah, karena sudah cukup usang catnya. Waktu itu nggak bisa sekaligus semua, tapi kita cicil per bagian. Dalam dulu, baru keluar.
5. Servis/ganti laptop dan handphone
Laptop dan handphone buat saya adalah alat kerja, sudah bukan gegayaan lagi. Saya butuh laptop dan handphone yang bukan kaleng-kaleng, biar kerja lancar dan cepat. Karenanya, saya butuh spek yang lebih lengkap.
Lagi pula, saya kalau pakai juga sampai pol. Sampai bener-bener nggak bisa diajak kerja lagi, baru saya berpikir untuk menggantinya. Sebenernya saya males sih buat servis, karena pengalaman, habis diservis juga kalau memang sudah uzur itu, laptop ya tetep aja penyakitan.
Jadi, beda sama teman-teman yang mungkin mengincar smartphone tertentu yang bisa di-PO dan bisa direncanakan dananya, buat laptop dan handphone saya harus selalu punya dana cadangan untuk servis dan beli. Karena kalau rusak, itu handphone dan laptop nggak pernah kasih prior notice. Tahu-tahu ngadat aja.
Dana Darurat itu Penting!
Saat awal pandemi di tahun 2020, saya sempat ditanya oleh salah satu bos klien, berapa banyak dana darurat saya sampai sekarang? Saya bilang, cukup pokoknya, sampai 9 – 12 bulan.
Beliau bilang, “Good. Karena kayaknya kita akan harus berada dalam pandemi sampai 2 – 3 tahun ke depan. Moga-moga kantor tetep bisa jalan, jadi kamu tetap ada fee dari kita.”
So, I’m glad bahwa saya sudah punya dana darurat hingga level ideal. Setiap kali habis kepakai, saya selalu komit menggantinya, sampai kembali menjadi ideal.
Kita masih nggak tahu, sampai kapan krisis pandemi ini harus kita jalani. Statistik naik turun paparannya bikin hati kebat-kebit. Di kota saya sendiri, vaksin belum begitu merata. Sampai artikel ini ditulis, yang bener-bener umum baru sampai usia pralansia. Usia 30 tahun dan 18 tahun boleh vaksin jika membawa 2 lansia/pralansia untuk vaksin. Saya masih menunggu kesempatan untuk diperbolehkan vaksin. Semoga setelah vaksin, kita semua jadi sehat ya. Ekonomi pun segera pulih, dan bisa kerja normal seperti sebelum pandemi.
Sampai dengan saat itu, punya dana darurat yang cukup, proteksi yang memadai, dan cash flow positif saja, saya sudah sujud syukur.