Hubungan jarak jauh, atau long distance marriage, itu memang harus saya jalani. Semua demi masa depan. Sudah bukan waktunya lagi makan nggak makan ngumpul. Nanti yang ada, nggak bisa makan beneran.
Banyak pertimbangan sih, dan bukannya kami tak pernah membicarakan solusi bagaimana agar bisa senantiasa berdekatan. Sudah banyak kali, dan akhirnya (saya sih, terutama) capek sendiri karena terlalu banyak hal yang harus dikorbankan yang menyangkut kehidupan selanjutnya.
Salah satu hal yang harus benar-benar dipersiapkan untuk dapat menjalani long distance marriage adalah soal keuangan. Nah, mari kita bahas soal ini dalam artikel kali ini.
Disclaimer: Artikel ini bukan ditulis oleh Bang Mamat
[toc]
Tentang Long Distance Marriage
Nggak sedikit orang yang memutuskan untuk menjalani long distance marriage. Bahkan di sekitar saya—dalam lingkup keluarga, atau lingkungan—tak sedikit yang juga menjalaninya. Happy? Of course! Kenapa tidak? Kebahagiaan itu bisa diciptakan di berbagai situasi dan kondisi kok, bukannya cuma ditunggu dan datang sendiri.
Ada banyak sebab pasangan memutuskan untuk long distance marriage, dan saya kira, enggaklah bijak bagi kita untuk menghakiminya. Biarkanlah itu menjadi keputusan mereka, dan mari beri dukungan saja untuk yang terbaik. Saya juga enggak akan bahas mengenai alasan-alasannya, karena bukan pada tempatnya. Saya mau ajak bahas salah satu sisi saja.
Selain soal mengelola hubungan dan hati secara ekstra dengan pasangan, mengelola keuangan juga sudah jadi PR tersendiri. Pasalnya, di sini akan ada 2 keuangan rumah tangga yang harus dikelola bersama. Tapi, sementara komunikasi tetap baik, tentu ini bukan hal yang terlalu sulit.
Lah, malah panjang pembukanya. Mari kita mulai dengan membahas beberapa jenis pengeluaran untuk pasangan long distance marriage yang sedikit berbeda dengan pasangan yang tinggal serumah.
Kebutuhan Keuangan Pasangan Long Distance Marriage
Cicilan Utang
Kebetulan, kami tidak terlalu banyak punya beban utang. Pinjaman dana yang pernah kami ajukan adalah ke kantor suami, karena merupakan salah satu bagian dari benefit karyawan. Sayang aja kalau enggak diambil, karena kami diperbolehkan mengambil pinjaman untuk kredit kendaraan, rumah, dan kendaraan kedua. Semua dengan bunga yang lunak.
So far, kami pernah mengambil kredit kendaraan untuk motor dan rumah (bekas). Puji Tuhan, keduanya sudah lunas. Dua-duanya diatur dalam keuangan dari sisi suami. Dia sendiri yang ambil tanggung jawab itu.
Selebihnya, kami—terutama saya—nggak pernah punya pengajuan pinjaman dana. Saya menggunakan kartu kredit untuk pekerjaan, terutama untuk membayar berbagai tools yang kebetulan dimiliki oleh berbagai perusahaan di luar negeri yang bisanya dibayar dengan kartu kredit atau PayPal. Dan itu juga langsung saya lunasi sebelum jatuh tempo, karena memang sudah jatahnya.
Cicilan utang selalu menjadi prioritas utama kami. Itu kewajiban yang harus dipenuhi, nggak pedul kami lagi jatuh, lagi jaya, lagi sakit, dan sebagainya. Cicilan utang harus jalan terus, tidak ada dispensasi.
Kebutuhan Sehari-hari
Lantaran hidup terpisah, keterbukaan soal kebutuhan hidup sehari-hari jadi penting. Pasalnya, kita kan nggak bisa melihat apa yang dibutuhkan pasangan setiap hari tanpa dikasih tahu. Jadi, ya, harus banyak laporan; laporan butuh apa dan laporan pembelian, meski nggak harus ada catatan tertulis atau proposal gitu.
Kadang saya juga bilangnya kalau sudah beli sih. Hahaha.
Hidup dengan dua dapur—dan kami juga harus sesekali berkontribusi terhadap keluarga besar masing-masing—maka bisa dibilang, pengeluaran jadi lebih ekstra. Tapi, hal ini bisa diatasi juga dengan penghematan yang juga ekstra. Lama-lama juga terbiasa dengan ritme ini sih, yang di awal memang selalu berat.
Di kasus saya, kayaknya saya sih memang yang lebih “boros”. Secara, anak-anak ada di saya semua. Dan suami sadar betul tentang hal ini. Dia mafhum, kalau saya mau yang terbaik buat anak-anak.
Saling jujur saja sih yang penting, karena memang kuncinya ada pada komunikasi.
Investasi dan tabungan
Saya dan suami punya tabungan sendiri-sendiri, tanpa punya rekening bersama. Sila dibaca apa alasannya di artikel yang sudah ditautkan. Hal ini sudah jadi kesepakatan (eh, saya yang minta deng, suami manut aja. LOL) dan hal ini sudah berjalan sejak kami menikah.
Soal investasi—bukannya mau nyombong—sekarang saya lebih pinter dari suami, karena pekerjaann saya “mengharuskan” saya untuk banyak belajar tentang investasi. LOL. Kami yang tadinya cuma “in gold, we trust”, sekarang masing-masing sudah punya reksa dana dan juga portfolio saham. Kami usahakan di dua sekuritas yang berbeda, dengan produk yang berbeda pula.
Kebutuhan investasi selalu diprioritaskan juga di depan, ketika penghasilan baru diterima. Suami bergaji tetap, sehingga di tanggal muda, ia selalu setor langsung ke portfolio. Saya pekerja lepas, biasanya langsung saya pisahkan dari setiap invoice yang cair, jadi “semacam” pajak, langsung transfer ke RDI. Dari sana, baru saya kelola mau beli saham atau topup reksa dana.
Dana Darurat
Begitu juga dengan dana darurat, suami punya rekening sendiri, saya juga ada sendiri. Kalau dijumlahkan, bisa dipakai untuk lebih dari 24 bulan. Kenapa gede banget dana darurat? Banyak pertimbangannya:
- Kami hidup terpisah, yang mana risiko lebih tinggi dan pengeluaran akan lebih besar ketika melibatkan kepulangan-kepulangan mendadak dan urgent.
- Saya kerja freelance, yang berarti memang perlu safety belt yang lebih kenceng daripada jenis pekerja yang lain.
- Masing-masing dari kami masih punya tanggungan keluarga besar, yang kadang sekonyong-konyong mengontak untuk berbagai kebutuhan darurat.
Dana darurat ini selalu saya masukkan ke dalam anggaran bulanan rutin. Setiap bulan, saya tambah meskipun hanya seratus dua ratus ribu. Ini pakai sisa uang belanja bulanan, beda sama investasi yang disisihkan di awal bulan.
Komunikasi
Pas masih zaman belum ada WhatsApp, pengeluaran komunikasi sungguh sesuatu. Kirim SMS kadang ya terbatas banget, akhirnya ya nelpon. Pas masih pacaran, kadang beli pulsa Rp50.000, langsung habis dalam semalam cuma buat nelpon doang.
Boros bats!
Setelah ada WhatsApp, lumayan terbantu, meski kualitas teleponnya kadang ya bapuk beud. Tapi lumayanlah ya, nggak terlalu mengeruk alokasi dana komunikasi. Makasih lo, Om Zuckerberg! Meskipun KZL lantaran data privacy, tapi aplikasimu sangat membantu pasangan pejuang Long Distance Marriage ini.
Sekarang alokasi dana komunikasi sudah bisa diikutkan dari akun bisnis saya. Lumayanlah ya, bisa nebeng ikut nelpon suami, meski kuota dibeli dengan kas bisnis. Hehehe. Anggap saja bonus untuk diri sendiri.
Transportasi
Nah ini. Secara, saya nggak pernah mewajibkan suami untuk pulang seminggu sekali atau sebulan sekali, karena tiketnya ya lumayan juga ya bok. Kadang kami berdua juga paceklik, penghasilan ngepas. Kayak saat pandemi sekarang.
Jangan tanya kapan suami terakhir pulang. Saya bisa baper.
Tapi, kami punya pos transportasi sendiri. Dan, di dalam pos ini, juga ada pos liburan bareng yang tadinya kami selalu lakukan bersama di akhir tahun. Sayangnya, tahun 2020 harus libur, dan sepertinya tahun 2021 juga harus menunda liburan sampa semua benar-benar aman.
Lifestyle
Nah, setiap kali suami pulang, kami biasanya selalu ada acara untuk senang-senang di luar bareng anak-anak. Entah sekadar makan di resto atau kafe fancy, menikmati gelato, atau guilty pleasure makan di resto fast food. Selain itu, kadang juga nonton kalau pas ada film yang menarik dan cocok ditonton sekeluarga, atau mengunjungi tempat wisata baru yang kadang viral di media sosial.
It’s all well planned, dan sudah ada bujetnya. Biasanya ini jatah suami sih. LOL. Karena dia tahu, sehari-hari, saya yang sudah pusing sama kebutuhan anak-anak. Jadi, kalau ada ekstra, dia yang ambil alih. Meskipun ya, sesekali saya juga yang mengeluarkan uang, dan itu sama sekali enggak masalah.
Yang penting seneng, dan bisa bonding bareng sekeluarga.
Long Distance Marriage – Challenging yet Fun!
So, enggak seperti yang dikesankan, long distance marriage itu enggak masalah kok. Memang sekali waktu galau, tapi ya mana ada sih pernikahan yang bebas kerikil? Hidup serumah dan konflik terus juga banyak kok ….
Kami bukannya mau mencari pembenaran. Toh, kalau boleh memilih, ya kami sudah pasti akan memilih untuk tinggal bersama. Puyeng bok, ngurus anak-anak sendirian itu, sambil disambi kerja. Dikira nggak berat apa?
Tapi, dengan usaha dan niat, ya apa pun bisa kok dilakuin dan dijalanin.
So, tetap semangat ya, para pejuang Long Distance Marriage! Yakin saja, bahwa pasti akan ada saatnya waktu akan berpihak pada kita.