Saya sebenarnya sudah memulai pekerjaan sebagai freelancer sejak tahun 2011, tapi baru benar-benar full time freelancer di tahun 2021 ini. Dan dana darurat merupakan hal yang bisa bawa saya survive sampai sekarang.
Saya nggak ada rencana untuk menjadi seorang freelancer sebelumnya, tbh. Tapi akhirnya kondisi juga yang menuntun jalannya.
Sebenarnya, menjadi seorang freelancer itu kurang lebih ya sama saja dengan kerja kantoran sih. Kalau pada bilang lebih fleksibel, karena kerjaan freelancer itu tidak terikat ruang dan waktu. Jenis pekerjaannya biasanya ya yang memang bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.
Tapi, banyak yang lupa, bahwa fleksibilitas ruang dan waktu juga diiringi dengan fleksibilitas income. Means, duit yang masuk juga nggak teratur, Ferguso. Lagi pula, fleksibilitas waktu itu memang berarti jam kerja kita yang atur sendiri. Praktiknya, bisa saja kita kerja 15 jam sehari.
Nah, saya nggak akan bahas mengenai keuangan seorang freelancer aja sih sekarang, tapi lebih ke dana darurat, karena kaitannya dengan pemasukan yang nggak teratur ini.
Disclaimer dulu: Artikel ini bukan ditulis oleh Yang Mulia Bang Mamat
[toc]
Apa yang Membuat Dana Darurat Begitu Penting?
Sudah baca cerita perkenalan saya dengan dana darurat kan?
Selepas dari perusahaan pertama setelah 3 tahun bekerja di sana dan selalu telat gajian, saya akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan eksportir furniture. Ndilalah, di tahun ke-8, perusahaan juga mulai gonjang-ganjing. Saya kembali harus mengalami keterlambatan menerima gaji. Selama setahun selanjutnya, saya mencoba bertahan, karena memang sebenarnya saya suka kerja di situ. Bosnya baik, sayang sama saya. Tempat kerjanya juga enak banget.
Tapi ya, lagi-lagi, seberapa kuat saya bisa bertahan kalau gaji akhirnya selalu telat?
Saya juga sempat bekerja mengelola sebuah portal. Sebenarnya ini juga dari awal sudah kelihatan kalau bakal jadi proyek kerja rodi. LOL. Tapi saya ada harapan, ke depan kalau bisa gede, portal ini bisa jadi pegangan saya dalam jangka waktu yang lama. Ternyata dugaan meleset. Portal saya sih tumbuh dengan sangat baik, sayangnya manajemen pusat yang tak bisa bertahan. Beberapa bulan terakhir, saya telat dapat gaji lagi.
So, saya memang akrab betul dengan yang namanya gajian telat. Jadi, dana darurat adalah hal yang krusial buat saya. Saya harus punya dulu, baru mikir ke yang lain.
Mengumpulkan Dana Darurat ala Seorang Freelancer
1. Tentukan jumlahnya
Nah, kalau mau membangun dana darurat itu harus sampai berapa?
Saya dulu berangkat dari ketidaktahuan, ya pokoknya nabung aja. Buat cadangan dana, seperti kata Ibuk. Tapi nabung tanpa tujuan dan target nominal itu kek jalan tapi nggak tau nyampenya di mana dan kapan. Capek sendiri deh.
Lalu, saya belajar bahwa dana darurat itu punya jumlah tertentu. Saya cek posisinya, ternyata saya sudah ada di 8 kali pengeluaran bulanan. Kaget sendiri. Lah, udah banyak juga ya. Hahaha. Gimana caranya bisa tahu-tahu sampai 8 kali gitu? Ceritanya ada di poin kedua.
Menurut teori, seharusnya saya punya dana darurat 12 kali pengeluaran bulanan. Tapi, saya baca tip dari seorang financial planner, bahwa dana darurat nggak perlu terlalu banyak. 3 – 6 bulan saja cukup. Namun, saya memutuskan untuk melanjutkannya sampai 12 kali pengeluaran bulanan.
Kenapa? Karena pemasukan saya yang sangat nggak menentu. Saya freelancer, kerap paceklik. Saya juga sudah punya 2 anak, dan juga seorang lansia, yang saya tanggung biaya hidupnya, jadi harus punya lebih banyak dana darurat. Ada suami yang siap kasih saya uang belanja, tapi biar dia fokus ke tujuan penting lainnya. Saya akan bangun dana darurat keluarga sendiri.
Saya juga sudah cukup berumur. Udah nggak muda lagi. Saya juga sadar, kesempatan buat cari duit lagi itu susah buat saya. Beda sama kalian yang mungkin usia 20-an. Lebih gampang buat cari duit, misalkan penghasilan utama seret. Resign, ngelamar lagi di perusahaan lain peluang keterimanya tetep lebih gede daripada saya.
Nah, saran saya memang kalian tentukan sendiri jumlahnya, sesuai kondisi. Teori dan tip dari financial planner memang banyak, tapi nggak semuanya applicable. So, memang, keuangan itu soal personal. Kalian sendiri yang menentukan.
2. Tentukan “cara potong”-nya
Ada financial planner lagi yang bilang, bahwa pemasukan bisa saja tidak teratur. Tetapi pengeluaran bisa dibuat teratur. Karenanya, adalah penting bagi seorang freelancer untuk membuat catatan pengeluaran, dan kemudian dari catatan pengeluaran itu, kita bisa menghitung gaji diri sendiri. Transfer uang saku kita sendiri, sejumlah pengeluaran yang sudah dicatat.
Tapi, saya merasa ini kurang praktis buat saya. Saya memang males banget buat ribet bikin catatan ina-inu. Saya juga nggak suka tertarget, karena kalau dengan cara ini, saya harus ngejar berapa pemasukan dalam sebulan supaya gaji saya bisa terpenuhi. Toh, saya masih ada uang belanja dari suami kan. Jadi saya merasa cara ini kurang cocok saja.
So, saya cari cara lain.
Akan lebih mudah untuk saya, kalau saya “potong” saja 20% dari setiap fee yang masuk untuk menjadi dana darurat.
Akhirnya, setiap kali ada invoice cair dan fee masuk ke rekening, saya withdrawal 80% uang cash untuk belanja dan memenuhi semua kebutuhan. Yes, saya masih cuma punya satu rekening, karena saya malas beud bayar admin. Hahaha. Waktu itu belum ada e-wallet juga, cyint. Apalagi bank digital.
Dengan begitu, kok ternyata, saya nggak ngalamin tanggal tua dan tanggal muda. Nggak kerasa juga kalau misalnya invoice telat cair. Kalau dipikirkan di atas kertas, memang berisiko tinggi sih. Tapi nyatanya, cara ini malah bisa bikin dana darurat saya cepat terkumpul, hingga 12 bulan pengeluaran dalam waktu cukup singkat.
Kok bisa gitu? Lanjut ke poin 3.
3. Live below your mean
Salah satu sebab mengapa saya bisa cepat dapat memenuhi dana darurat ideal adalah selalu berusaha hidup di bawah batas kemampuan finansial.
Ini sebenarnya cukup mudah sih, buat saya, karena pada dasarnya saya bukan tipe yang kepinginan. Misal, ada smartphone baru diluncurkan, terus saya lihat-lihat fiturnya. Kok keren amat? Tapi, saya nggak pernah terus pengin beli. Kadang saya juga impulsif sih, belanjanya. Tapi memang dasarnya nggak banyak yang saya penginin, jadi ya nggak terlalu gimana-gimana juga.
Jadi, belanja atau beli sesuatu ya karena butuh.
Sampai sekarang, saya berusaha jaga terus rasa enggak kepinginan ini. Ingatkan diri sendiri, untuk selalu berpikir jauh kalau mau beli sesuatu.
Dengan live below your mean, maka pasti ada lebih banyak sisa dana yang bisa dialokasikan ke tabungan dana darurat. So, jumlah ideal akan lebih cepat dicapai kan? Lebih cepat dicapai lebih baik, supaya kita bisa terus pindah ke prioritas keuangan berikutnya, right?
4. Simpan di tempat yang tepat
Yes, dulu saya sih cuma mengandalkan dompet berkompartemen buat nyimpen duit. Sekarang ya, kita manfaatkan apa yang sudah ada.
Dana darurat tadinya hanya saya simpan di tabungan biasa. Ya maklum, belum kenal instrumen macem-macem. Tapi kok ya sebel tiap kali lihat kepotong biaya admin. Hahaha. Tapi saya pengin nyimpen ya tetep di tempat yang gampang buat diambil. So, saya memutuskan untuk menyimpan di 3 tempat:
- Emas. Saya mulai beli emas tahun 2012. Enggak banyak. Itu juga saya beli dari sisa-sisa uang belanja yang 80%. Jadi bukan yang ambil dari dana darurat yang ada di bank.
- Tabungan berjangka. Ini saya mulai dari 2010-an, dan saya perpanjang terus per 3 tahunan kalau misalnya nggak kepakai. Saya melihatnya sebagai instrumen yang sangat likuid. Memang sih, kalau dicairkan sebelum jatuh tempo akan ada penalti. Tapi seenggaknya, tetep bisa diambil kapan-kapan, dan bunganya lebih tinggi dari tabungan biasa. Plus, bisa ditopup di tengah jalan. Di sinilah proporsi dana darurat saya yang paling besar.
- Reksa dana. Saya punya RDPU dan RDPT. Saya baru mulai punya reksa dana ini sekitar 2 tahunan. Baru banget pokoknya, jadi imbalnya juga masih belum banyak.
Tempat ideal saya menyimpan dana darurat barangkali berbeda dengan orang lain. Sah-sah saja, karena sekali lagi, keuangan itu sangat personal. Kita yang tahu baiknya gimana, dan atur saja sendiri.
Nggak Usah Eman Menggunakan Dana Darurat, Tapi Cepat Ganti
Saya pernah di satu titik, ketika sayang banget buat memakai tabungan dana darurat ini. Susah-susah dikumpulin, kok dipakai? Kebayang pas susahnya ngumpulin sedikit demi sedikit kan?
Tapi, kok ya akhirnya stres juga. Pas laptop rewel minta diservis, saya bingung mau pakai uang apa. Terus keinget, punya dana darurat. Yha, kalau nggak dipakai buat saat-saat begini, terus buat apa sih dikumpulin? So, sampai sekarang, sudah banyak kali dana darurat saya pakai. Duh, bersyukur banget punya pos satu ini. Next, saya akan cerita, buat apa saja dana darurat saya pakai so far.
Tapi, harus janji sama diri sendiri, segera ganti kalau sudah dipakai. Caranya ya sama, langsung sisihkan dari setiap fee yang cair.
Puji Tuhan, sampai sekarang aman. Bahkan di masa pandemi kayak gini, punya dana darurat yang ideal ini lumayan bisa bikin pikiran tenang.
Itu sedikit cerita panjang dari saya soal membangun dana darurat. Kamu punya cerita sendiri? Yuk, share yuk, di kolom komen.