Saya tak pernah tertarik lagi untuk investasi setelah pengalaman pertama saya ternyata investasi bodong. Takut banget, rasanya nyesek aja gitu, tahu uang yang sudah saya kumpulkan susah payah dengan qerja qeras bagai quda dibawa kabur sama orang. Saya pun ketinggalan berbagai info instrumen investasi, dan dicukupkan kepuasannya untuk menabung saya di tabungan biasa.
Memang, nyimpen uang di tabungan biasa itu paling amanlah. Bisa dipakai sewaktu-waktu. Tapi ya saya juga ngeri kalau kebanyakan nyimpen di tabungan, ndilalah kenapa-kenapa (saya juga pernah kena scam ATM, btw), duit saya juga bisa ilang.
Karena alasan itu juga, maka saya selalu withdrawal gaji, sampai minimal saldo, dan lebih suka simpen dalam amplop-amplop ala Ibuk.
Mari kita lanjutkan cerita ini.
Disclaimer: Artikel ini bukan ditulis oleh Dani Rachmat
[toc]
3 Instrumen Investasi Saya yang Pertama
Dari Tabungan Berjangka, Saya Berani Investasi Lagi
Hingga saya sampai pada suatu titik dalam hidup—monmaap, saya nggak bisa cerita detail mengenai titik ini, karena sangat personal even saya juga pakai psedoname di sini—ketika merasa, saya harus punya pegangan sendiri. Kondisinya darurat sekali, dan saya harus mencari sesuatu yang paling aman sebagai tempat untuk mengumpulkan dana. Dan, saya berkenalan dengan tabungan berjangka.
Saya berani mencoba mengalihkan uang saya ke tabungan berjangka, karena namanya bukan investasi tetapi “tabungan”. Hahaha. Belakangan kemudian saya tahu, bahwa setiap tabungan yang ada di bank, ada penjaminnya dari negara yakni Lembaga Penjamin Simpanan alias LPS. Jadi, makin nyamanlah saya menabung di tabungan berjangka tersebut.
Hingga akhirnya jatuh tempo, saya seneng banget karena menerima lebih banyak dari yang saya tabung, dari bunganya. Ah, saya memang sebenernya gampang dibuat bahagia. Dapat sereceh dua receh, saya sudah bersyukur.
Dan kemudian, setelah uang hasil tabungan bisa saya pakai untuk berbagai keperluan, dan masih sisa, saya pun mulai beli emas.
Emas: Beli di Harga Rp500.000-an
Emas adalah instrumen investasi saya yang kedua. Ada yang bilang, emas bukan investasi. Tapi bagi saya, emas toh tetap investasi, apalagi kalau disimpannya dalam jangka waktu yang panjang. Begini ceritanya.
Pertama saya beli emas, saya kepikirannya cuma ya beli perhiasan. Saya tahu kalau ada emas batangan yang dijual. Cuma, saya nggak tahu belinya di mana. Sempat googling dan tanya-tanya, katanya saya bisa beli emas batangan di butik emas.
Tapi lagi-lagi muncul keraguan saya, beli emas batangan pasti butuh modal banyak. Sedangkan saya, saya masih belum berani melepas uang untuk dijadikan aset lain.
Mengapa emas? Karena lagi-lagi, saya menyimak cerita Ibuk, yang dulu berhasil membangun rumah semeter demi semeter berbekal “tabungan” emasnya. Tak pelak saya juga ingat, ketika saya lagi proses lamaran dengan mantan pacar yang sekarang jadi suami. Kata Ibuk, “Minta digedein emasnya aja. Yang lain mah seadanya.”
Singkat cerita, saya pun berangkat ke toko perhiasan. Ngobrol-ngobrol sama pemiliknya, saya akhirnya memutuskan untuk beli gelang. Iseng, saya bertanya, kalau gelang itu setelah saya beli, langsung saya jual lagi, harganya berapa?
“Ya, ini kalau dijual kembali ke saya, ya kalau sekarang dipotong 15%.”
What? Lah, katanya emas itu instrumen investasi. Hahaha. Saya memang kurang info betul.
Ngobrol lebih jauh, ternyata si pemilik punya emas batangan Antam dalam gramasi kecil. Kalau enggak salah 3 gram. Dengan bujet yang ada, by my surprise, saya ternyata bisa beli emas batangan 3 gram ini.
Ternyata, beli emas batangan enggak mesti yang gede gitu ya? LOL.
Akhirnya, dengan riang gembira, saya pun membawa pulang emas batangan tersebut.
Beli emas Antam
Selang beberapa lama, saya memberanikan diri datang ke sebuah butik emas di kota saya. Dengan bujet yang lebih besar, sisa dari tabungan berjangka yang sudah cair, saya pun bisa membeli 10 gram emas, dengan harga masih di kisaran Rp500.000 – Rp600.000.
Dua tahun kemudian, saya membeli beberapa gram emas Antam lagi, dengan harga yang sedikit naik.
And then I learned, bahwa emas itu cocok jika dimanfaatkan untuk mengamankan nilai aset agar tak tergerus inflasi. Tapi yah, di awal pandemi, kalau saya mau jual emas, cuannya udah banyak beud! Tapi ya, akhirnya tetep saya simpan sih, karena kam tujuannya memang buat simpanan.
Tetapi, untuk bisa optimal perkembangannya, saya nggak bisa rely on emas saja. Harus ada juga instrumen investasi lainnya.
Reksa Dana: Tempat untuk Menyimpan Dana Darurat
Dan, kemudian saya berkenalan dengan reksa dana.
Waktu itu, ada event bloger yang diselenggarakan oleh salah satu perusahaan sekuritas. Mereka dalam rangka campaign memperkenalkan produk terbarunya, yaitu reksa dana. Itulah awal pertama saya berkenalan dengan reksa dana.
Sebelumnya, setiap kali saya mendengar kata “reksa dana”, yang terlintas itu kok kayak semacam arisan. Entahlah, saya lupa dari mana saya mendapatkan pemikiran seperti itu. Dan di acara itulah, saya mendapatkan pencerahan.
Tapi hal itu tak membuat saya serta merta membuka akun di sekuritas maupun manajer investasi. Saya merasa masih perlu waktu untuk mengenali, mempelajari, dan paham dulu cara kerja sekuritas dan manajer investasi ini, baru kemudian bisa memutuskan untuk membuka akun di salah satunya. Perjalanan saya cukup panjang, termasuk acara ngobrol di sela-sela ghibah dengan pemilik blog ini.
Nekat saja, ketimbang nggak mulai juga
Kira-kira setahun belajar, saya pun langsung nekat saja membuka dua akun sekaligus. Satu di sebuah marketplace finansial dan investasi terintegrasi pertama di Indonesia. Dan satu akun di sebuah perusahaan sekuritas online dengan pengguna terbanyak, untuk saya membuat portofolio saham. Untuk portofolio saham ini, akan saya ceritakan di artikel berikutnya.
Mengapa di dua perusahaan tersebut? Pertama, melihat reputasinya. Kedua, kalau penggunanya banyak, itu berarti ada “sesuatu” yang lebih yang bisa ditawarkannya. Menelusuri jejak keduanya juga tak saya temukan kasus yang terlalu berarti. Semua masih dalam kapasitas wajar.
So, saya memutuskan untuk memindahkan dana darurat dari tabungan ke reksa dana. Sesuai saran, saya pun mulai menyetor dana ke reksa dana pasar uang dan reksa dana pendapatan tetap. Sampai sekarang, sudah kurang lebih 2 tahun, saya rutin topup reksa dana setiap bulan. All is great!
Di awal pandemi, saya lihat reksa dana pendapatan tetap saya minus. Tetapi, Puji Tuhan, masih terselamatkan secara nominal total oleh reksa dana pasar uang. Selama saya nggak butuh-butuh amat, saya yakin, dana itu tetap aman berada di sana. Biarkan saja bergerak sesuai kondisi pasar.
Berdoa, supaya kalau pas dibutuhkan nanti, kondisinya pas lagi bagus. Hehehe.
Dari Tiga Instrumen Investasi, Saya Berkembang
Kepercayaan orang terhadap suatu instrumen investasi memang bisa saja bertumbuh secara perlahan. Kayak saya, yang diawali dengan perkenalan yang buruk dengan dunia investasi. Namun, kesalahan toh akan selalu jadi pelajaran, untuk ke depannya lebih baik lagi.
Dari tiga instrumen investasi di awal, saya akhirnya berkembang juga ke saham. Belum banyak, but I am getting there. Di artikel berikutnya, semoga saya bisa cerita lebih lengkap. Saya sekarang juga masih dalam pertimbangan untuk mencoba mengembangkan dana di P2P Lending. Tapi belum ketemu platform yang benar-benar pas dan sesuai dengan yang saya mau.
Nantinya, kalau memang sudah ketemu, saya akan cerita lagi.
Kalau kelen, instrumen investasi apa yang pertama kali kelen miliki? Cerita yuk.