Setiap kali saya “window shopping”, saat itu pula saya lihat ada fasilitas membeli dengan pembiayaan kredit. Nama lainnya: berutang. Karena itulah, saya rasa penting banget bagi kita untuk punya sikap bijak berutang.
Jadi bayangkan. Belanja online itu gampang banget. Sudahlah barangnya didiskon atau dapat cashback, bisa gratis ongkir, masih bisa tukar poin belanja, masih pula bisa dibeli dengan cara cicilan atau pinjam dulu yang bisa dibayar nanti (pay later). Hmmm, sounds familiar right?
Meski saya pribadi tak sampai tergiur sama utang, apalagi untuk barang-barang yang tak layak beli kalau sampai berutang, tapi saya tahu betul ini level godaannya udah yang level dewa.
Nggak heran deh, selama pandemi, kebiasaan belanja online itu meningkat 400%. Sudahlah “nganggur” di rumah, lebih banyak scroll smartphone, akhirnya iseng. Belum tentu barangnya bener-bener butuh, tapi seakan-akan butuh karena bisa bikin diri sendiri nyaman. Ya, enggak apa kalau memang mampu. Lha kadang lupa, kalau invoice belum cair, atau penghasilan lagi nggak penuh jeh…
So, artikel ini akan membahas mengenai sikap bijak berutang. Saya memang nggak hobi utang. Tapi, saya akan menuliskannya dari hasil pengamatan di sekitar saya, dan juga hasil baca sana-sini.
Disclaimer: Artikel ini bukan ditulis oleh Bang Mamat.
[toc]
Mengapa Orang Suka Berutang?
“Kalau nggak ngutang, nggak bisa beli. Gaji kan nggak akan pernah cukup.”
Pernah dengar kata-kata kayak gitu? Saya sering, bahkan kalimat tersebut datang dari anggota keluarga besar loh. Saya ngeri sedap betul dengernya. Tapi itu beneran ada.
Ada beberapa hal yang menjadi dasar kengerian saya:
Butuh beli atau butuh untuk dipakai?
Kayaknya hidup itu hanya sekadar soal beli barang yang dipenginin, nggak peduli butuh atau enggak.
Butuh beli, bukan butuh untuk digunakan dan dimanfaatkan untuk memudahkan hidup. Kayaknya, kalau enggak ngutang, hidup itu hampa. Nggak ada motivasi.
Penghasilan nggak pernah cukup?
Ah masa? Memang benar nggak pernah cukup, ataukah ini sekadar pembenaran diri akan nafsu belanja yang sebenarnya berlebihan dan bikin halu?
Padahal jawaban dari pertanyaan, “Kalau nggak ngutang, kapan bisa beli?” ini literally sebenarnya bisa dijawab selain dengan utang. Satu, berhemat sampai mampu beli. Dua, naikkan penghasilan supaya mampu beli. See? Bisa kok dibikin nggak ada opsi utang.
Tekanan sosial
Peer pressure, atau tekanan sosial ini memang nyata. It’s real! Saya pun—sebagai orang nggak pedulian, nggak penginan—kadang juga ngerasa loh.
Ya ampun, dia nih kayaknya udah jalan-jalan ke banyak negara ya? Wuih, si anu sekarang udah tinggal di Belanda ternyata. Ckckck, keren banget. Wuah, si itu belanja skinker sampai jutaan rupiah. Ckckck, pantes aja mukanya mulus bats kek marmer yak. Padahal usia sebayalah ya. Eikeh mah kulit muka kok banyak bruntusannya gini. Ih, gila, si inih nyekolahin anaknya ke sekolah taraf internesyenel. Ckckck, kemarin sempat liat-liat pas survei, biaya masuk aja udah ngalah-ngalahin universitas. Belajar apa aja ya, TK biaya masuk segitu?
Dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lain.
Yes, it’s real! Tapi itu bukan juga harus dijawab dengan utang!
I mean, whom would you impress, and for what? Kalau sudah bikin orang lain impressed, terus kenapa? Literally useless.
Dilarang Utang?
Jangan salah sangka. Saya nggak pernah menganggap utang itu jelek.
Ada yang berpendapat, bahwa utang itu haram. Sebaiknya, jangan. Kalau saya bilang sih ya, liat dulu utangnya kayak gimana.
Suami punya beberapa utang ke kantornya; untuk beli motor, dan beli rumah. Dua-duanya memang merupakan benefit yang disediakan oleh kantor untuk kesejahteraan karyawannya. Kalau nggak diambil, malah sayang! Harus diambil, karena pengembalian dan bunganya lunak sekaleee …
Sekarang, kami sedang memikirkan untuk ambil utang kedua, untuk dibelikan properti lagi. Untuk kemudian disewakan. Mungkin rumah petak untuk dikontrakkan, mungkin juga jadiin kos-kosan. Utang, untuk kemudian menjadi aset yang mendatangkan uang lagi.
Itu saya bilang, utang pada tempatnya. Kalau nggak pada tempatnya? Ya yang jelas-jelas nggak dibutuhkan, nggak bisa menghasilkan aset untuk meng-generate uang kembali pada kita, atau utang karena alasan nggak punya duit.
Itulah utang yang harus dihindari.
Utang memang dilakukan kalau ada aset yang di luar jangkauan kita. Tapi bukan berarti nggak punya duit. Ada duitnya, bahkan kalau mau utang bank pun, minimal kita mesti punya tabungan atau deposito di bank yang bersangkutan bukan? Itu dia yang namanya jaminan.
Kalau utang untuk barang yang nggak butuh-butuh amat, yang nggak layak dibeli dengan utang, itu kamu rugi dua kali loh.
Pertama, rugi karena sebenarnya barangnya nggak penting-penting amat, dan kita nggak butuh-butuh amat. Duit keluar sia-sia.
Kedua, harga barang yang belinya diutang itu sudah pasti jatuhnya akan lebih mahal.
Jadi, utang dilarang? Enggak dong. Boleh utang, tapi harus benar-benar butuh, dan kita harus punya sikap bijak.
Nah, mari kita lihat beberapa hal tentang utang, yang seharusnya sih lantas bisa membangkitkan sikap bijak berutang.
1. Tahu jenis utang
Ini yang saya bilang tadi di atas. Utangnya jenis apa? Utang karena merasa harus beli barang padahal nggak butuh-butuh amat, nggak penting-penting amat, atau utang untuk dibelikan aset yang bisa menghasilkan uang lagi untuk kita.
Misalnya, dibelikan properti untuk kemudian disewakan. Utang untuk modal usaha—ya termasuk utang buat beli HP yang canggih, supaya jualan onlinenya lancar, buat motret produk juga oke—agar omzet bertambah. Atau, utang untuk ambil S2, biar karier lebih benderang karena dipromosikan untuk jadi manajer. Dan sejenisnya.
Pastikan utangmu bermanfaat, maka itu adalah utang yang baik. Boleh saja kalau kamu memang mau berutang, tapi pastikan utangnya utang baik.
2. Buat rencana pengembalian
Ingat, kita berutang bukan karena kita nggak berduit. Mindsetnya mesti diperbaiki, bahwa utang tak selamanya dilakukan oleh orang yang nggak punya duit.
Justru, kita harus memastikan bahwa uang kita cukup dulu untuk mengembalikan utang. Ini bahkan harus dilakukan sebelum kita mengajukan kredit atau utang pada pihak mana pun.
Buat rencana pengembalian yang realistis. Buat skema yang masuk akal, dengan memperhitungkan penghasilan kita. Jaga supaya cicilan total tak lebih dari 30% penghasilan.
Jangan sampai kamu berpendapat begini, “Yang penting dapat duitnya dulu, urusan bayar ntar dipikir belakangan.” Duh, jangan ya. Jangan. Ini kesalahan yang umum terjadi, dan akan jadi masalah besar di kemudian hari.
Justru, saat kamu mempertimbangkan untuk mengambil utang, maka saat itu pula, kamu buat skema pengembaliannya. Berapa lama dana tersebut akan kamu pinjam, bagaimana term of payment-nya, berapa banyak cicilan yang bisa kamu tanggung, dan seterusnya.
3. Berutanglah pada pihak yang tepat
Pada siapa kamu berutang, akan menentukan bagaimana nasib keuanganmu di depan nanti. Kok gitu?
Ya bayangkan, kalau kamu berutang ke pinjol ilegal. Kalau ndilalahnya nanti ternyata ada kesulitan, dan butuh waktu untuk menyelesaikan utang, maka sudah pasti akan timbul masalah, karena pinjol ilegal itu nggak punya aturan. Mereka punya aturan sendiri, yang semau-mau mereka. Akibatnya lalu jelas, kamu tercekik utang bunga berbunga, yang kalau telat ada denda mencekik, yang akhirnya bergulung-gulung bak tsunami. Parahnya lagi sampai gali lubang tutup lubang, tanpa sadar sudah membuat lubang yang semakin besar. Siapa pun bakalan sulit melepaskan diri.
Jadi, sedari awal, tentukanlah pada siapa kita hendak meminjam dana. Pinjamlah dari pihak yang legit. Ke bank, misalnya. Kalau apes-apesnya belum bisa bayar cicilan, bank biasanya akan dengan senang hati melakukan restrukturisasi. Tentu saja, karena mereka akan pilih supaya dana kembali kan, ketimbang lantas “dibawa” pergi akibat kredit macet. Mendingan, jadwalkan kembali bahkan di satu dua kasus, mereka bisa memberi keringanan.
Nah, itu dia beberapa hal yang bisa membuatmu jadi bijak berutang.
Sekali lagi, utang itu nggak ada yang ngelarang. Tapi dari diri kita sendirilah yang harus bertanggung jawab untuk mengelolanya dengan baik.
So, selamat berutang. Pastikan utangmu bermanfaat, dan bisa dibayar kembali.