Catatan dari gue: Postingan hari ini dipersembahkan untuk penggemar hobi fotografi atau yang berniat untuk belajar fotografi otodidak. Tulisan tamu dari Mbak Tiara, teman baru blog yang sekarang kerjanya di luar negeri dan berkeliling dunia. Kalian coba deh main ke TiaraPermata.com untuk tahu bagaimana kerja di luar negeri dan pengalamannya Mbak Tiara yang penuh warna.
Tulisan ini bisa memberikan gambaran seberapa besar modal yang dibutuhkan untuk sebah hobi. Simak baik-baik ceritanya Mbak Tiara ini.
Semua foto di postingan ini adalah karya beliau, termasuk yang saya pakai sebagai featured image di blog title.
============
Saya mulai menyukai fotografi ketika papa memberi kamera film Pentax pada saat saya masih di bangku SMP. Papa memberi arahan bagaimana memutar dial di kamera dan komposisi sebelum menekan tombol shutter.
Kamera saya pergunakan selama beberapa tahun dan kemudian disimpan dalam lemari tanpa tersentuh lagi. Sibuk dengan segala macam kegiatan sekolah.
Kemudian saya kembali ingin menekuni hobi ini ketika saya bekerja di Turks and Caicos Islands.
Belajar Fotografi OtodidakFotografi Bukan Hanya Sekedar Hobi: Belajar Fotografi Otodidak
Biaya yang Saya Keluarkan untuk Kamera dan Aksesoris
Saya mulai dengan kamera point and shoot. Ketika itu saya membeli di Indonesia dengan harga Rp 2,5 juta. Saya bawa dari Indonesia dengan harapan saya bisa mengabadikan perjalanan saya ke dan dari Turks and Caicos Islands.
Kemudian saya merasa sudah saatnya saya upgrade ke jenis kamera yang lebih serius. Setelah mencari di internet kamera mana yang bagus untuk tingkat pemula, saya berencana membeli kamera DSLR Nikon D3000.
Membeli barang elektronik di Karibia bukan hal yang mudah. Ada dua cara pembelian, membeli dari toko setempat atau memesan online. Setelah bertanya pada beberapa teman, saya putuskan untuk membeli online. Kamera yang mau saya beli lengkap dengan dua kit lens, baterai, charger dan tas kamera.
Setelah memutuskan jenis kamera dan bagaimana cara membeli, saya menghadapi dilema ke dua. Karena barang ini di import dari U.S., tax dan duty bisa mencapai 37%. Kamera Nikon D3000 tersebut berharga US$ 700 + 37% = US$ 959. (Bisa dibayangkan kalau saya membeli di toko setempat, kemungkinan saya membayar sekitar US$ 1.150).
Lumayan harga tax dan duty yang harus saya bayar, terutama untuk saya seorang staff dengan gaji masih tak seberapa. Cara yang termudah adalah meminta teman baik yang bepergian ke U.S. untuk membawanya. Bebas tax dan duty.
Baca juga postingan: Apa yang Harus Dilakukan Ketika Kurang Bayar Pajak.
Langkah Selanjutnya: Post Processing dan Biayanya
Dengan keinginan menekuni fotografi semakin serius, saya juga mulai belajar untuk post processing. Saya menekuni Adobe Photoshop (CS5). Saya perlu laptop tapi bimbang karena begitu banyak pilihan laptop yang terbaik. Malah salah seorang pakar fotografi yang saya kenal menyarankan untuk membeli Macbook Pro.
Saya ragu untuk membeli perangkat ini karena saya tidak tahu sejauh mana saya mau menekuni hobi fotografi. Saya mencari jalan tengah dengan membeli laptop HP yang harganya sekitar US$ 500. Lagi – lagi saya titip teman yang bepergian ke U.S.
Saya tidak puas hanya membeli kamera DSLR saja.
Saya mulai membeli lensa, tripod dan sampai kepada accessories lainnya. Saya hitung – hitung mencapai sekitar US$ 1.500. Tidak termasuk tax and duty.
Membawa laptop 15 inch bukan hal yang sepele. Saya mendapat masalah di Bangkok dan London karena hand carry overweight. Selain berat juga memakan tempat. Sehingga saya harus berpaling ke netbook. Jauh lebih kecil, tapi saya masih tetap bisa melakukan post processing.
Netbook ASUS saya beli di U.S. dengan harga US$ 250 dan netbook yang ke dua saya beli di Indonesia dengan harga Rp 3.500.000,-.
Omong-omong ketika berencana membeli peralatan elektronik, atau apapun juga, saya selalu mencari pada saat Black Friday. Ketika harga barang di seluruh penjuru U.S. dijual dengan diskon besar-besaran. Bahkan ada yang bebas ongkos kirim ke Miami. Biasanya kalau lewat laut, seluruh pengiriman ke Karibia melalui Miami.
Baca juga postingan: Gaji Kecil Gak Bisa Investasi? Alesan!
Hobi Fotografi Ketika Traveling dan Tinggal Berpindah – pindah
Saya membaca artikel salah seorang pakar street photographer terkemuka, Eric Kim, yang memperkenalkan istilah G.A.S. (Gear Acquisition Syndrome). Artinya keinginan sangat besar untuk menambah koleksi peralatan, membeli lebih banyak alat daripada yang dibutuhkan.
Saya salah satunya.
Saya punya beberapa lensa yang hanya sekali – kali saya gunakan. Berhubung tripod saya berat, saya malas menggunakannya. Masih ada lagi accessories lain yang masih terbungkus plastik.
Saya sering sekali traveling dan tinggal berpindah-pindah. Sulit bagi saya bila memboyong kamera dan asesorisnya ke setiap tempat yang saya datangi.
Keberadaan saya yang membuat saya harus memilih peralatan yang akan saya bawa dengan jeli. Traveling juga membawa dilema yang tidak jarang memaksa saya untuk lebih praktis dan ringkas dalam mengemas barang bawaan.
Peraturan penerbangan hanya memperbolehkan barang bawaan maksimal 7 kg plus satu handbag. Regulasi ini memaksa saya untuk melakukan perjalanan dengan minimal dan ringan.
Baca juga pengalaman saya jalan-jalan ke Amersfoort.
Peranan Kamera Cellphone
Tidak jarang berat backpack membuat pundak saya menjerit kesakitan. Belum lagi harus menenteng kemana – mana pada waktu perjalanan. Repot. Pernah tangan saya terkilir ketika menaruh hand carry di compartment pesawat. Meski saya mengalami kecelakaan kecil, saya bersyukur tidak ada yang fatal.
Setelah banyak kali melakukan percobaan dan gagal berkali – kali, akhirnya saya (dengan senang hati) memutuskan hanya traveling dengan satu body kamera dan satu lensa ditambah dengan point and shoot kamera dan cellphone. Point and shoot kamera saya pilih Nikon COOLPIX Waterproof dengan harga $ 299.99 dan cellphone saya pilih Samsung J5 yang saya beli di Indonesia dengan harga berkisar Rp 3.000.000,-.
Malah cellphone saya sangat berguna ketika saya bepergian dari satu kota ke kota lain melintasi U.S dari West Coast (New York) ke East Coast (San Francisco). Photo-photo saya selama di bus, metro dan kereta api lintas kota sebagian besar menggunakan Samsung J5. Selain gambar tajam, cellphone memudahkan saya untuk bergerak cepat.
Peralatan Spesifikasi Tinggi (Bisa Menjadi Penghambat Interaksi?)
Saya tidak perlu membawa kamera DSLR yang berat ketika berjalan jauh. Saya lebih banyak berjalan daripada naik kendaraan. Ditambah saya sekarang menggeluti street fotografi. Memotret dengan cellphone dan kamera point and shoot memudahkan saya interaksi dengan penduduk lokal.
Saya senang nongkrong di tempat umum dan melihat aktifitas penduduk setempat. Ketika saya mengangkat kamera point and shoot tidak menjadi perhatian, mereka sudah biasa melihat orang memotret dengan kamera kecil ataupun kamera cellphone.
Saya mengalami kesukaran ketika berada di tempat-tempat yang tidak lazim orang membawa kamera besar. Gerak tubuh dan air muka mereka berubah ketika melihat kamera besar dengan lensa yang menjulur seperti belalai gajah. Banyak orang salah sangka bahkan marah ketika saya memotret dengan kamera DLSR. Saya kena labrak di Quito, Ecuador.
Kesimpulan: Belajar Fotografi Lebih Dari Sekedar Hobi
Singkat kata, belajar fotografi menyangkut banyak hal. Menurut pendapat saya, kamera dan segala macam asesorisnya adalah hanya setengah bagian dari fotografi.
Masih banyak sekali segi fotografi yang harus didalami untuk menghasilkan potret yang indah. Termasuk di dalamnya bagaimana berinteraksi dengan peralatan yang kita punya dan juga objek fotografi yang ingin kita ambil Terus berlatih dan berlatih sampai menjadi bagian dari rutinitas adalah satu keharusan.
Silahkan baca tulisan-tulisan teman-teman lainnya di blog ini di kategori Postingan Tamu.
wisnuwidiarta
Tadinya kirain Mas Dany yg suka hobi fotografi. Mau diajakin hunting bareng.
dani
Hehehe. Kalau saya cukup pakai kamera HP ajah. ?
wisnuwidiarta
Sekarang device fotografi #1 saya iPhone 7 plus.
Baru kalau keluar kota, nginep, mau foto lighttrail, startrail, slowshutter, baru deh dslrnya dikeluarin. But 90 percents always taken by my iPhone hehehe..
dani
Wah sama Mas. Saya juga pake iPhone 7+. Hihihi. Udah cukup banget kalo buat kebutuhan saya sendiri.
wisnuwidiarta
Bener. DSLR too bulky now. Post processing mesti nunggu copy ke laptop, pake Lightroom atau GIMP.
Pake iPhone bisa langsung retouch dan post ke medsos. Hehehe..
dani
The ease of usenya emang juara ya Mas. Kalo dari segi quality memang jauh kali ya Mas sama DSLR. Cuma kalo untuk medsos dah cukup lah. ?
wisnuwidiarta
Iyaa.. kalau mau buat dicetak jadi lukisan kurang crisp. Buat medsos dah bisa bikin ngiler wkwkwkwk
iKurniawan
Aada kok yang pakai iPHone untuk foto professional. yang pernah ketemu sih Pre wedding sama food photography
😀
wisnuwidiarta
Hahaha mantaaap
dani
Mantabh banget pake iPhone buat professional photography. Etapi emang hasilnya gak jelek sih secara kualitas.
iKurniawan
Paling setuju dengan bagian “gear acquisition syndrome” itu. hahahhaa….
tapi yang namanya fotografi itu bener2 no limit. Kalau ndak fokus mau lari kemana, siap2 aja lari kemana-mana tanpa arah jelas, dan akhirnya skill begitu2 aja
*malah curhat
dani
*saya merasa terwakili. Bahahaha…
Emang Mas, kadang malah lebih ngejar beli-belinya ya dibanding belajar komposisi dan teknis untuk menghasilkan gambar bagusnya ya.
nianastiti
Ini aku malah lagi kepikiran jual kamera mirrorless karena yang aku punya lumayan berat. Untungnya aku sadar diri bukan tipe yang mau cepet belajar soal kamera kalau ga butuh, jadi jarang tergiur kamera keluaran baru :p
dani
Hihihi. Jual Nia buat beli bitcoin. Wkwkwkwkwk. 😀
tiara permata
Terima kasih Dani. Semoga berguna bagi pembaca setia danirachmat.com
dani
Amiiin… Saya yang berterimakasih sekali untuk tulisannya Tiara 🙂
Riza Pinandita
Mas Dani, Saya mau kirim artikel. Di kirim ke mana ya?
dani
kirim ke halo@danirachmat.com ya Mas. 😀
Muhammad Aksan
Mantap saya juga senang dengan dunia photografi, artikel yang bagus neh
dani
Terima kasih Mas 🙂