Saya sudah pernah cerita, tentang seberapa banyak bisnis yang sudah saya coba dalam rangka menambah penghasilan. Dan, dari sekian banyak, ternyata hampir sebagian besar gagal. Bisnis gagal memang bikin down semangat kan ya? Itu juga saya rasakan.
Yang paling nyesek adalah ketika harus kehilangan modal.
Tapi, ya sebentar down, lalu harus segera semangat lagi, dan ambil pelajarannya. Ya, soalnya kalau terus kapok, kapan deh bisa resign dari pekerjaan secepatnya, ya kan? Yes, memang itulah yang jadi motivasi utama saya ketika pengin punya bisnis. Saya bosan jadi karyawan.
Memang, bisnis gagal itu adalah salah satu momok yang paling ditakuti oleh seseorang yang baru mulai mencoba untuk berbisnis. Karena, ya, siapa sih yang mau punya bisnis gagal?
Tapi, kalau melihat dari pengalaman, dan juga pengamatan terhadap sekitar, sebenarnya kami—para pebisnis gagal ini—punya beberapa kesalahan yang sama.
Nah, ini dia yang akan kita bahas bersama kali ini.
Disclaimer: Artikel ini bukan ditulis oleh Bang Mamat
[toc]
Penyebab Bisnis Gagal
Maksain
Yes, yang pertama adalah maksain. Maksain gimana, maksudnya?
Jadi gini. Kadang, kita berbisnis karena pengin ngebisnisin satu produk itu, atau satu barang itu, atau di sektor itu. Karena, kita suka produk itu, atau kita suka berada di sektor itu. Kita pikir, wah, ini unik, pasti banyak yang suka! Pasti pada beli!
Padahal, enggak.
Itu kan berarti namanya maksain. Tanpa melakukan riset—karena memang nggak peduli dengan kebutuhan orang lain—kita langsung menarik kesimpulan (yang aslinya hanya merupakan asumsi saja).
Akibatnya, ya orang pada nggak butuh, atau selera kita (yang kita anggap unik) ternyata beda sama pasar, jadinya nggak laku.
Misalnya begini.
Mau jualan baju. Kita sendiri punya selera fashion yang cenderung gothic. Karenanya, kita pun memilih produk-produk yang sesuai dengan selera kita itu. Sementara, pasar yang kita targetkan adalah perempuan remaja dan dewasa. Kecenderungannya, mereka itu lebih suka warna-warna ceria atau pastel, dengan model yang lucu-lucu, warna-warni, yang bikin gumush.
Nah, kan, jadi nggak ketemu. Ya, mana mereka mau beli? Buat mereka, baju-baju gothic itu dark banget! Menakutkan …
Perencanaan yang kurang matang
Karena semua hanya berdasarkan asumsi—sudah gitu, salah pula—akhirnya kita tak punya rencana bisnis yang benar. Salah target, salah promosi, … salah strategi pokoknya deh.
Akibatnya, ya boncos. Rugi modal, rugi waktu, rugi pula tenaga dan pikiran. Bisnis yang tanpa direncanakan dengan baik, sebenarnya sudah kelihatan bakalan berumur pendek. Padahal, saya sendiri pengin punya bisnis supaya bisa jadi penghasilan utama, setelah saya resign. Pastinya, saya pengin bisnis yang stabil dong, dan kalau bisa berumur panjang.
Kayak punya orang-orang.
Kembali ke atas
Terburu-buru
Kesalahan terbesar banget adalah buru-buru pengin jalan bisnisnya. Padahal ya kan, semua butuh proses. Trial and error—dan bisa jadi lebih banyak error-nya ketimbang berhasilnya. Kadang, kita kayak mengeblok diri sendiri terhadap kemungkinan error ini.
Mengapa? Ya, karena kita keburu pengin sukses.
Inilah pentingnya sadar risiko sejak awal, dan harus punya rencana untuk mengelola risiko itu. Tapi ya, orang dari awal sudah salah—karena hanya berdasarkan asumsi dan bukan riset—jadinya, ya, gimana ya …
Pelajaran dari Bisnis Gagal
Yang di atas itu adalah 3 kesalahan terbesar, setidaknya yang sudah saya lakukan, hingga berakibat bisnis gagal. Saya yakin, masih ada kesalahan yang lain juga sih, tapi ruang buat curhatnya enggak cukup ini kalau ditulis semua.
So, apa yang bisa saya pelajari dari kesalahan-kesalahan tersebut?
1. Riset itu penting
Riset pasar itu penting. Seenggaknya, kita tuh harus meyakinkan diri dulu, bahwa produk kita nanti bakal ada yang beli.
Lalu, ke mana kita mencari pembeli? Ya, bisa mulai dari orang-orang terdekat kita. Coba cek dan lakukan riset, apakah produk kita mereka butuhkan? Kalau iya, gali info lebih dalam. Kalau tidak, ya gali info juga, apa yang sebenarnya mereka butuhkan?
Prinsip ekonomi itu kan supply vs demand, betul?
Jadi, kalau nggak mau bisnis gagal, ya sejak awal kita bisa berpegang pada prinsip tersebut dengan hanya menyediakan produk yang dibutuhkan oleh (target) pasar. Perkara nanti kemudian dikembangkan agar produk kita lebih punya keunikan, ya itu perkara branding. Dan, itu tuh sebenarnya bisa dipikirin nanti aja.
Yang penting, cari pasar dulu. Cari yang mau beli dulu.
2. Biarkan berkembang alami, tetapi tetap dengan strategi
Setelah pasar ada, kita baru deh bisa melakukan branding. Buat strategi bisnis, yang meliputi strategi promosi, penjualan, produksi, hingga pengembangan ke depannya.
Sependek pengalaman saya, strategi yang dibuat dengan terburu-buru biasanya jadi kurang matang. Di tengah jalan, bakalan buanyak sekali yang mesti disesuaikan dan diubah. Dan, mengubah-ubah rencana itu—percayalah—sangat melelahkan.
So, sekarang sih, saya percaya pada strategi yang dikembangkan sembari bisnis dijalankan. Punya rencana panjang itu perlu, sebagai objektif, nantinya bisnis ini akan menjadi seperti apa, akan sebesar apa. Rencana jangka panjang ibaratnya mimpi besar. Tapi, kita harus sabar, dan kemudian mem-breakdown mimpi besar itu menjadi beberapa target kecil yang harus dijalani dalam beberapa tahapan jangka pendek.
Dengan demikian, bisnis akan lebih adaptif dengan perubahan kondisi yang bisa terjadi di tengah jalan.
3. Networking harus jalan terus
Saya bukan orang yang terlalu sociable. Saya rada jengah ketika harus menghadapi orang baru, dan kadang exhausted kalau dalam satu hari terlalu banyak berinteraksi dengan orang lain. Ibaratnya, saya bisa saja maraton meeting dalam sehari dengan klien-klien, tapi kemudian saya harus menarik diri dari lingkungan sosial saya selama 3 hari untuk recharging.
Nah, saat itulah, kerasa banget. Ketika saya “menghilang” selama beberapa hari, tingkat engagement saya dengan orang lain tuh menurun drastis. Akibatnya, untuk menaikkannya lagi, ya butuh energi lebih lagi.
Karena itu, saya sedang berproses juga nih, untuk terus networking meski saya sedang exhausted. Kadang ngerasanya ya maksain, tapi ya gimana ya. Sebagai seorang pekerja lepas, promosi diri sendiri itu penting untuk menjaga kelangsungan proyek.
So, I have to.
Kadang ya merasa iri sama orang-orang ekstrover yang menemukan energinya ketika bertemu dengan orang lain, baik secara daring maupun luring. Saya juga pengin, tapi ternyata juga teteup nggak bisa dipaksain. Saya kehabisan energi kalau terlalu banyak berinteraksi dengan orang lain.
So, the bottom line is …
Bisnis gagal itu berarti ada banyak pelajaran yang didapat. Hidup juga soal trial and error, soalnya. Jadi ya, keep going sajalah.
Kadang ya capek. Pengin berhenti, dan pensiun dini. Tapi apa daya, biaya buat pensiun belum cukup kalau mau berhenti sekarang. Nanti saya minta makan sama siapa?
Bisnis gagal, jangan kapok. Coba cari solusi, ganti produk, ganti model, ganti strategi, dan seterusnya. Kalau memang orientasinya pengin punya bisnis sendiri, pasti ada saja jalannya. Tinggal kita saja yang mesti jeli melihat peluang.