“Harga diskon Sis! Mayan loh 40% dibanding harga biasanya! Kan elo pake barang ini. Buat stok di rumah deh mumpung loh!”
~ Seorang pekerja kantoran ke temannya ketika mampir ke sebuah convenient store
Sering gak denger percakapan semacam itu? Atau malah sering terlibat di dalamnya? Trus, barang apa sih yang diskon sampe 40% dan membuat mereka tergoda untuk membeli?
Gue yakin banyak dari kita yang sering terlibat di dalam pembicaraan sejenis. Dan jawaban untuk barang apa, bisa dalam bentuk berbagai macam. Mulai dari sabun muka, kosmetik, sampai ke sepatu model terbaru keluaran brand tercinta.
Di saat sedang tidak membutuhkan apa-apa, tiba-tiba barang yang biasa dibeli diskon 40%. Pasti kita akan langsung bingung harus beli untuk stok atau tidak. Paling gak gak gue sih kayak gitu.
Atau sedang adem ayem tentrem gak ada keinginan apa-apa, tiba-tiba tas backpack dari brand paling hits diskon 50%. Apa hati gak kebat-kebit pengen beli? Terutama kalo beberapa minggu sebelumnya sempat lihat-lihat di official store market place kesayangan barang yang sama dijual dengan harga normal?
Yuk bahas ini yuks. Seru karena gue rasa banyak yang mengalami hal ini.
Seperti biasa, manteman bisa baca langsung dari atas sampai habis, atau baca ikutin daftar isi di bawah ini:
Boros Belanja dengan Harga Diskon! Bagaimana Bisa?
- Kebutuhan vs Keinginan
- Kebutuhan Pasti (Akan) Dibeli
- Menutup Kemungkinan Belanja Pilihan Lain
- Diskon Tidak Selalu Lebih Murah, Gratispun Juga Harga!
- Waspadai Teknik Penetapan Harga Patokan
Kesimpulan: Belanjakan Uang Karena Kebutuhan, Bukan Karena Diskon!
Boros Belanja dengan Harga Diskon! Bagaimana Bisa?
Kebutuhan vs Keinginan
Tentu saja ketika kita melihat ada sabun mandi yang harga normalnya sebesar sepuluh ribu rupiah, kemudian dijual dengan harga hanya enam ribu rupiah kita akan membelinya. Untuk persediaan di rumah alasannya. Meskipun sebelumnya kita sudah belanja sabun yang sama tiga kemasan ketika belanja bulanan terakhir.
Pun ketika kita melihat jaket atau baju yang tergantung di rak toko di mall terpasang tag 50% off, padahal seminggu sebelumnya kita urungkan niat membeli karena harganya “kurang wajar” atau “agak terlalu mahal”. Kemungkinan besar beberapa menit kemudian kita sudah akan mengantre di kasir untuk membayarnya.
Pikiran kita akan melihatnya sebagai kebutuhan. Tentu saja dengan embel-embel: “MUMPUNG DISKON!”
Baca juga tulisan: Tips Makan Murah Tapi Tetap Gaya!
Padahal sebenarnya, ketika melihat barang yang sama dalam kondisi tidak ada potongan harganya, kita saat itu tidak akan membelinya. Tapi ketika tag 40% potongan harga terpasang, tiba-tiba kita merasa membutuhkannya.
Jadi pertanyaannya, sebenarnya kita membutuhkan barang itu, atau kita membutuhkan untuk memuaskan rasa keinginan membeli barang diskon tersebut?
Tenang saja, ini gue nulis kayak gini bukan karena gue sudah ahli memisahkan antara kebutuhan dan keinginan. Tapi lebih karena gue ingin menguatkan pemahaman bahwasannya membeli barang itu harus sesuai dengan kebutuhan.
Sabun yang tiba-tiba harganya diskon, sebenarnya kita masih memiliki stok yang kita butuhkan di rumah. Uang yang dipakai untuk membeli sabun terdiskon tadi bisa jadi dipergunakan untuk membayar kebutuhan lainnya.
Gue akan bahas ini di beberapa poin berikutnya.
Kebutuhan Pasti (Akan) Dibeli
Susah memang membedakan antara kebutuhan yang benar-benar kebutuhan dengan keinginan untuk membeli barang yang dibutuhkan ketika ada diskon. Kalaupun memang akhirnya benar-benar tergoda oleh diskonnya, pastikan kalau barang yang dibeli memang benar-benar dibutuhkan.
Bagaimana caranya?
"Barang yang dibutuhkan pasti akan tetap dibeli apabila diskonnya tidak ada karena memang akan dipergunakan." Share on XHow can I put it in a way easier to understand ya? LoL!
Baca juga: 12 Hal yang Harus Diketahui tentang Jenius BTPN
Untuk tas, sepatu, baju dan barang-barang yang tiba-tiba kita merasa “butuh” ketika melihat diskon terpasang, akan lebih mudah bagi kita mengatakan kalau dorongan membeli harga diskon tersebut hanyalah godaan semata. Tapi ketika yang diberikan label sale adalah barang-barang trivial bernilai kecil yang memang dibutuhkan akan lebih sulit untuk memilahnya.
Misalkan saja, kita terbiasa menggunakan tissue merk A untuk per 100 sheetnya yang biasa kita beli seharga Rp. 10.000,-; Suatu ketika berjalan menyusuri lorong convenient store, tissue B dijual dengan harga Rp. 17.000,- untuk dua kemasan 80 sheet.
Kira-kira lebih murah apa nggak tuh dengan harga segitu? Bahahahaha. Gini men ya bahas soal hemat dan diskon-diskonan. LoL.
Coba-coba kalo misalkan barangnya diganti dengan sabun atau produk personal care lainnya. Sudah nyaman menggunakan brand A trus kemudian melihat brand B diskon yang harganya menjadi hanya 60% dari brand A. Ketika kita tergoda untuk membeli karena harganya murah, ternyata ketika dipakai rasa dan kualitas brand B jauh di bawah brand A. Bahkan, kualitas ini mungkin yang jadi pertimbangan utama kita di awal ketika memutuskan memilih brand A.
Tidakkah kita akan menyesali pilihan membeli dengan harga diskon itu? Kenapa tidak tetap bertahan tidak tergoda diskon dan hanya membeli nanti ketika stok yang kita miliki sudah habis? Karena toh bagaimanapun namanya kebutuhan, pasti akan kita beli. Ya toh?
Menutup Kemungkinan Belanja Pilihan Lain
Okelah dengan alasan untu persediaan kemudian kita belanja barang-barang dengan harga diskon tadi, trus jadi punya barang sejenis agak banyak dirumah. Kira-kira bakalan dipakai sampai habis kah?
Oke, kalo dipakai sampai habis karena kita adalah orang yang sangat setia dengan satu brand. Tapi pernah terpikir begini gak, uang yang kita belanjakan untuk membeli barang diskon (yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan itu), bisa dipakai untuk membeli kebutuhan lain.
Misalkan, karena diskon, kita jadi membeli tissue dan sabun senilai Rp. 25.000 sehingga akhirnya harus menunda pembelian 250 gram biji kopi yang bisa diseduh di kantor. Karena biji kopi habis, akhirnya jadi membeli kopi susu ala-ala demi bisa menjaga mata tetap terbuka.
Baca juga: Tips Menghemat Uang Ala Mahasiswa Rantau
Ada kesempatan yang terbuang di sana. Kalaupun bukan kopi, uang Rp. 25.000 tadi jadi tidak bisa dipakai untuk membeli kebutuhan lainnya. Itu untuk barang kecil yang nilainya mungkin tidak terlalu berarti.
Tapi barang yang sama akan menumpuk di rumah, di kantor atau dimanapun kita menyimpan dan menggunakannya. Kemudian kita akan mulai menggunakannya satu persatu sampai habis, selama tidak ada diskon lagi untuk barang yang sama yang menggoda dengan diskonnya.
Trus gimana kalo di tengah jalan kepengen ganti brand? Tissue, sabun, odol, pembersih lantai atau apapun itu. Sementara di rumah masih banyak barang dengan brand yang dibeli modal diskonan.
Sudah tertutup wahai kisanak kesempatan kalian untuk bisa mencoba barang dari brand lain. Hanya karena kalian tergoda diskon.
Diskon Tidak Selalu Lebih Murah, Bahkan Gratis Pun Juga Sebuah Harga!
Kalo melihat opportunity cost, diskon bisa bisa jadi sangat mahal. Bahkan gratis juga adalah sebuah harga.
Kita bahas dulu soal bagaimana gratis adalah juga sebuah harga. Sering terima tawaran gratis services dari berbagai macam pihak? Bagaimana? Apa yang kalian bayar?
Kayak gratis langganan koran setahun atau gratis fitur premium aplikasi selama setahun atau gratis apapun. Bayar data yang diminta sama penyedia jasa dan barang gratisan itu kan? Dengan sukarela kita berikan informasi pribadi yang sebenernya esensial. Kalo kalian belom pernah melakukan ya, selamat! Kalau sudah, welcome to the club!
There's no such thing as a free lunch. Gratis itu juga harga yang harus dibayar. Share on XKita bahas lebih lanjut tentang opportunity cost piye?
Bagaimana dengan ketika barangnya gak yang gratis tapi diskon gede. Coba pake contoh kalo yang diskon adalah barang kayak sepatu atau barang lain dengan nilai yang lumayan. Dengan harga standar di kisaran sejuta ~ biar gampang aja contohnya, dengan diskon menjadi “hanya” Rp. 700.000,- yang tentu saja kemudian kita beli. Apakah dengan beli barangnya kita jadi hemat Rp. 300.000?
Baca juga: Emak-emak Belanja Saham
Gue sih yakin, waktu beli itu sepatu, tas, baju ato apapun barang diskonnya kita pasti ada di kondisi yang gak butuh itu barang. Paling gak, lagi gak butuh-butuh banget lah ya.
Trus duit Rp. 700.000,- yang dipake buat beli itu apa gak bisa dimanfaatkan untuk yang lebih bermanfaat? Untuk nabung saham misalnya. Eaaa! Daripada beli barang yang belom tentu dipake di rumah, kenapa gak numpuk saham perusahaan pembuat barang- barang kebutuhan kita? Sembari menyiapkan masa tua.
Kalo aja misalkan duitnya dipake buat beli saham BBRI yang dalam setahun bisa naik 3%-5% dengan tambahan potensi dividen duitnya jadi aktif kerja buat kita. Toh sepatu, tas atau baju tadi kita gak butuh-butuh banget kan? Rp. 700 ribu dibelanjakan untuk barang yang gak segera dibutuhkan. No immediate need.
Instead of berkembang, duit malah turun nilainya. Gak cuma turun, kehilangan nilai! Bisa gak dijual lagi dengan harga yang sama barangnya? Kemungkinan besar dipake sekali-dua dan berakhir numpuk di lemari. Mahal kn efek diskonnya? Mahal karena kita sudah kehilangan kesempatan mendapatkan keuntungan lebih dan perkembangan dana hanya demi 30% yang sebenernya juga tidak pernah ada kebutuhannya. Alih-alih malah kehilangan 70% dana kita.
Waspadai Teknik Penetapan Harga Patokan
Udah pernah denger teknik harga patokan dalam marketing penjualan? Anchoring teknik?
Jadi kita akan dikenalkan ke harga yang jadi patokan dan referensi dulu untuk kemudian dikenalkan pada harga yang memang ditargetkan. Karena otak manusia selalu membandingkan dan mencari referensi ketika melakukan penilaian. Termasuk ketika menilai harga barang yang akan dibeli apakah termasuk murah atau mahal.
Kita pasti dihadapkan pada penilaian di kepala kita ketika melihat harga-harga barang kan, ini murah atau mahal. Harga satu barang masuk akal atau tidak. Apakah barang ini kayak dibeli dengan harga sekian dan sekian. Yakan?
Diskon sekian persen berarti kita sudah diberikan harga referensi sebesar nilai 100% sebelum diskonnya. Bisa jadi harga normal tersebut tidak ditampilkan tapi ada tanda diskon 30% besar berwarna merah di samping harga barunya. Atau harga awalnya tertulis dan dicoret di samping harga diskonnya.
Kita akan langsung mengasosiasikan harga yang dicoret sebagai harga normalnya. Dengan harga setelah diskon yang tentu saja jauh lebih rendah kita langsung bandingin dengan harga asal ya dan otak kita langsung bilang: MURAH YA BOKKK!
Padahal kalo mau lebih ribet, coba Bandingkan barang sejenis dari brand lain. Apakah harganya memang segitu atau jauh lebih mahal dari harga diskonnya. Atau lihat brand yang sama dari toko lain apa bener toko lain jualnya jauh di atas itu.
Baca juga: Jangan Tergoda Hadiah Tabungan
Jangan begitu lihat satu diskon di toko A langsung teruwow-uwow dan beli. Terlalu gegabah kisanak!
Contoh kasus kek gini: Toko B menjual barang X dengan harga Rp. 675.000,- dan stock mereka tinggal sedikit. Mereka pasang harga normal Rp. 675.000 diskon Rp. 25.000 sehingga harga barang jadi Rp. 650.000. Sementara itu, toko A punya stock barang X agak banyak. Mereka pun berencana membuat strategi menjualnya dengan harga Rp. 650.000,- tapi harga normal yang dipasang adalah angka Rp. 750.000-;ada diskon sebesar Rp. 100.000,-
Untuk pembelian yang datang langsung di toko A, mereka akan melihat diskon yang signifikan. Bagaimana dengan toko B? Dalam segi nilai uang maupun prosentase terlihat kurang menggoda. Contoh ini cukup straightforwad dan tentu sama saja antara membeli di toko A dan toko B. kalau kita tidak hati-hati, kita bisa saja terjebak membeli barang dari toko A dengan tanpa sadar merasa sangat bahagia karena mendapatkan “diskon” yang cukup besar.
Hati-hati mengambil referensi untuk menentukan patokan harga ketika akan memutuskan murah atau mahal ketika akan membeli suatu barang. Share on XKesimpulan: Belanjakan Uang Karena Kebutuhan, Bukan Karena Diskon!
Jadi bagaimana? Sudah mendapatkan insight kah dari tulisan ini?
Belanja barang yang gak dibutuhkan dengan diskon 30% berarti kita boros senilai 70% Share on XSebenarnya tulisan ini bukan untuk mengingatkan siapa-siapa. Lebih ke reminder untuk diri sendiri yang seringnya kebablasan belanja ketika melihat beberapa puluh persen potongan harga tertempel di toko-toko.
Everyone has his/her own kryptonite. Meskipun berbeda-beda, pasti ada satu jenis barang yang membuat pertahanan lemah. Yang terpenting adalah bisa membentengi diri dengan memisahkan mana yang benar-benar dibutuhkan dan mana yang hanya diinginkan.
Selain itu, selalu waspada tentang bagaimana mekanisme penetapan harga dan penggunaannya untuk menentukan standar murah dan mahal. Selalu cari pilihan-pilihan lain yang bisa lebih murah. Karena selisih harga yang kita bayar bisa kita pergunakan untuk mendapatkan keuntungan lebih.
Jangan pernah tergoda dengan diskon untuk membeli barang yang kita inginkan. Karena gratis pun adalah sebuah harga. Kehilangan kesempatan karena memilih diskon barang yang tidak dibutuhkan bisa sangat mahal harganya.
Setuju kan? 😀
Dedew
Hihi aku baru aja beli cokelat gegara diskon, tapi biasanya memang belinya kalau ada diskon tok #pelit
dani
Hahahaha. Memang-memang. Saya juga kalo barang yang tidak diperlukan jarang beli kalo gak diskon 😀
duniamasak
aku biasanya beli barang bulanan yang diskon karena kebutuhan 😀
dani
Kalau memang kebutuhan mah hayuk monggo diteruskeun…
Erdjon
Thanks banget mas Dani atas ulasan ini. Saya pribadi kadang tertarik untuk membeli barang yg didiskon2…. Padahal belum tentu dibutuhkan banget….
dani
Sama-sama 🙂