Kategori
Film Review

Review Film Pengabdi Setan (2017)

Ini review film Pengabdi Setan (2017) versi danirachmat setelah dicekam ketakutan selama 107 menit di kegelapan bioskop dan kehadiran Ibu.

Daripada nonton mending baca review film Pengabdi Setan 2017 aja. Biar gak ketakutan. Hahahah *trus ditabokin para movie goers.

Jadi sudah tau kan kalo #IbuDatangLagi? Dan percaya deh kalo dikasih tau #JanganNontonSendirian. Nurut aja. Gak usah sok-sok an nonton sendirian, apalagi malem Jum’at (kayak yang gue lakukan kemarin). Bahahahaha.

[five_sixth_last] [/five_sixth_last]

Saking napsunya, gue sampe bela-belain pulang kantor langsung cuss nonton sendiri di XXI Aeon Mall BSD. Giliran habis beli tiket guenya malah senep (sakit perut -red) sendiri. Bahahaha.

Trus ngelihat foto lonceng dan nunggu sendirian pintu studio dibuka (karena dateng duluan), jantung ini rasanya gak tahan nanggung beban ketakutannya. Tapi apakah kalian layak mengalami ketakutan semacam itu untuk film ini?

Baca juga Review Film Kingsman The Golden Circle.

Dan seperti biasa, disclaimer is on!

Review Film Pengabdi Setan (2017)

Ringkasan Film

Review Film Pengabdi Setan

*Gambar diambil dari twitter account @pengabdi_setan.

Rating: 17 tahun ke atas
Genre: Horror
Director: Joko Anwar
Duration: 1h 47mins
Starred: Tara Basro, Endy Arfian, Nasar Annuz, M. Adhiyat, Ayu Laksmi, Bront Palarae, Dimas Aditya
Critics Review: 8.4/10 IMDB; 76/100 metacritics; N/A Rottentomatoes

Baca tulisan tentang perbandingan rating film dan bagaimana rating film hanya sebagai persyaratan administratif semata.

Setelah tiga tahun sakit, Ibu pun akhirnya meninggal dan meninggalkan suami dan keempat orang anaknya. Sang Bapak pun harus ke luar kota meninggalkan anak-anaknya demi bisa menebus rumah milik nenek yang sudah digadaikan untuk pengobatan Ibu.

Larut dalam kesedihan, satu persatu anaknya mulai bertemu dengan setan serupa sang Ibu. Rupanya dia datang untuk menjemput mereka.

Penampilan Para Pemain

Remake dari film tahun 80an berjudul sama ini didukung sama pemain-pemain berpenampilan kuat. Sayangnya gue cuma kenal Tara Baso yang juga main bagus di film A Copy of My Mindnya Joko Anwar juga. Dia jadi Rini di film ini, anak tertua dari empat bersaudara yang harus berhenti kuliah.

Dia sekali lagi membuktikan kekuatan  aktingnya. Meskipun menurut gue dia agak tua buat memerankan anak umur awal 20-an, tapi masih believable.

Selain itu Ayu Laksmi yang jadi Ibu berhasil banget bikin suasana serem sepanjang film.  Bayangkan aja, cuma lihat fotonya di dinding sent a fine chill down the spine. Oh well, pengaturan oleh set decorator dan sinematografinya ngaruh banget juga sih ya.

Dukungan cast yang lain gak kalah kuatnya, terutama di antara kakak beradik Rini, Toni, Bondi dan Ian. Dua adik terkecil di empat bersaudara ini, Bondi dan Ian menunjukkan potensi akting terbesar karena di bayangan gue anak kecil kan mestinya belom ngerti akting ya. Tapi mereka berdua bisa ngebangun chemistry yang pas.

Sementara peran orang-orang dewasa yang lain di film ini bervariasi antara biasa sampai cukup menyita perhatian. Ambil contoh si Nenek yang meskipun gak banyak dapet waktu tampil, tapi kehadirannya cukup memberikan pengaruh ke scene-scenenya.

Paling aneh dan mengecewakan dari penampilan para pemeran film ini mungkin adalah penampilan Hendra.

Pembangunan Kengerian

Review Film Pengabdi Setan 2017

Gue sendiri gak terlalu inget film ini yang jaman dulu kek gimana, tapi sungguhlah Joko Anwar berhasil banget ngebangun kengerian-kengerian yang bikin berat dada. Rasanya jantung mau copot di banyak adegan.

Setting tahun 1982 pas banget buat bisa membikin suasana yang mencekam. Bahkan sebelum scene horor dimulai. Pengambilan lokasi rumah keluarga yang ada di pinggiran desa dengan areal pekuburannya terasa natural. Siapapun bisa relate dengan apa yang coba dibangun dari awal film.

Usaha menjadikan film Pengabdi Setan ini buat menjadi film yang mengerikan (in a good way) berhasil dilakukan tanpa harus terlihat berusaha terlalu keras.

Setting tahun 80-an pulalah yang menurut gue juga berhasil membuat sosok Ibu bisa dikaburkan antara penampilan setan dan orang yang sakit.

Ditambah lagi dengan nanyian Ibu dengan nada-nada lagu lama yang mendayu-dayu yang diperdengarkan dari rekaman piringan hitam juga seolah membawa perlahan gue sebagai penonton ke suasana mencekam di puncak film.

Zuzur aza, akikes penasaran berat sama lagu yang dinyanyikan sama Ibu di film ini. Ada yang tahu judulnya kah?

Gue membayangkan orang tua gue hidup di tahun 82 seperti di film ini dan mendengarkan lagu ini diputar di radio-radio. Sebuah musik yang indah. Tapi memang kalau disandingkan dengan sosok Ibu yang sakit dan bagaimana kemudian kejadian demi kejadian menyertainya, ampundijee.

Apa yang Gue Suka di Film Pengabdi Setan 2017

[one_half] [/one_half]Kalau dari sisi teknik filmnya. Bagus aja deh. Hahahaha.

Secara gue kan bukan orang film ya. Jadi gak ngerti banyak tentang bagaimana teknik pengambilan gambar yang bagus, atau teknik-teknik yang dipakai pada sebuah scene film, tapi gue sangat menikmati apa yang disajikan kemarin.

Mulai dari setting tahun 1982 yang kerasa banget di barang-barang properti yang dipakai, baju-bajunya, hairstyle dan tone gambarnya.

Trus rumah yang dipake juga kesannya tua banget, dengan kamar mandi besar dan sumur timba di dalam area kamar mandinya. Tipe rumah nenek yang kita datangi waktu mudik banget.

Pengambilan gambar tokoh yang sedang beraktivitas dan meninggalkan ruang kosong yang di banyak film kemudian dipake buat menempatkan setan banyak dipakai di film ini. Tapi kerennya, penggunaan teknik ini gak kemudian langsung memunculkan setannya.

Gue yang tadinya udah yakin setan bakal kelihatan setelah kamera bergerak mengikuti si tokoh, harus kecewa dan mengantisipasi dua kali lebih dahsyat kapan kemunculan memedi yang paling ditakuti di film ini.

Salah dua di antara adegan-adegan serem yang paling bikin ngeri adalah waktu Rini mendengar lonceng di tengah malam dan mendapati Ibu sudah bisa berdiri dan juga waktu Rini sholat di malam hari. Anjay kucay gue sampe teriak-teriak: “Anjis-anjis!!”. Bahahaha.

Apa Saja yang (Seharusnya) Bisa Lebih Baik

Pertama sih, dialog para tokohnya yang entah kenapa kesannya kaku. Mungkin karena mengambil setting tahun 80-an. Dialog yang diucapkan beda dengan memori gue dari tahun-tahun itu. Paling gak dari film-film yang memang berasal dari tahun 80an ya. Wkwkwkw.

Selain itu, seperti gue bilang di atas, tokoh Hendra kerasa awkward banget di film ini. Mulai dari rambutnya dan modusnya ngedeketin Rini enggak banget deh. Apalagi latar belakang dia sebagai anak Pak Ustadz.

[five_sixth_last] [/five_sixth_last]

Spoiler: Dan mestinya, dengan latar belakang karakternya yang anak baik-baik dan anak Pak Ustadz, mestinya pas dia bangkit lagi di akhir cerita, sepihak sama si Nenek dong yang bantuin Rini dan adek-adeknya. Bahahaha.

Selain itu, penggunaan gambar rumah di sebelah pohon besar untuk menggambarkan setting tempat mungkin serem di scene-scene awal pertama kali ya. Tapi ketika gambar yang sama dipakai berulang kali, bok lama-lama bosen juga. Iya tahu kalo rumah mereka rumah lama di pinggir hutan di bawah pohon besar yang mungkin tempat berkumpul setan, tapi trus kenapa? Gak perlu sering-sering lah dipake.

Selain itu lagi, entah kenapa final take untuk para setan yang keluar di klimaks film ini buat gue malah menurunkan kadar keseraman film secara keseluruhan yang berhasil dibangun dengan kehadiran sosok #IbuDatangLagi.

Spoiler: Menurut gue nih ya, jauh lebih serem kalo ternyata musuh-musuh utama yang keluar itu orang-orang dari sekte pengabdi setannya, instead of setannya langsung. Seperti kata si Bapak: “Setan itu gak serem, jauh lebih serem orang-orang yang hidup”.

Jadi dari dua film yang gue tonton, It dan Pengabdi Setan ini, gue sama-sama ngerasa kalo film horror yang bagus, endingnya pasti kurang serem. Hahaha.

Pesan Moral Film Pengabdi Setan

Satu hal yang gue suka dari film ini, pesan moral bahwasannya pengabdi setan bisa jadi di antara kita. Salah satu dari orang yang kita kenal dengan gaya hidup yang biasa aja.

Joko Anwar berhadil ngajakin kita berpikir tentang ini. Dia berhasil banget buat menyingkirkan stereotyping lebay di film-film tahun 80-an bahwasannya orang yang jauh dari Tuhan pasti punya gaya hidup hedon lebayatun.

Di versi film tahun 80nya, keluarga di film ini digambarkan sebagai orang-orang yang seneng party, ugal-ugalan dan emang jauh dari tuhan. Sementara Joko Anwar menggambarkan bahwasannya keluarga pengabdi setan gak jauh beda sama keluarga gue.

Orang-orang sederhana yang kita temui sehari-hari. Orang-orang dengan masalah yang sama dengan kita. Mereka cuma jauh dari Tuhan dengan cara tidak memercayai tahyul (termasuk di antaranya ibadah dan berdoa ke Tuhan.

Selain itu, satu hal yang gue kurang suka dari film-film horror jaman dulu, setan selalu berhasil dikalahkan dengan doa-doa islami. Well, agama dan doa dijual sebagai pembasmi setan. As simple as that. Setan gak dibasmi dengan aksi pengamalan ajaran agama yang konsisten dari si individunya sendiri. Begitulah.

Di film ini, Joko Anwar menawarkan pengertian itu. Mungkin sedikit lebih ekstrim dengan membuat bahkan Pak Ustadznya juga kalah sama setan. Wkwkwkwk.

Spoiler : Pun dari penyebab utama konflik yang ada di film ini. Gue suka banget gimana Joko Anwar menggarisbawahi bahwasannya ada hal-hal yang jauh lebih berharga dibandingkan harta dan tahta. Keluarga.

Ibu memutuskan menjadi pengabdi setan karena tidak punya anak. Putus asa, Ibu pun mengambil jalan pintas untuk bisa memiliki anak. Bagaimana dia kemudian bangkit lagi dari kubur untuk menjemput anak-anaknya disebabkan oleh keinginan yang tidak hanya ada hubungan dengan harta dan tahta.

Keluarga adalah inti dari film ini. Harta yang paling berharga, adalah keluarga. #TerKeluargaCemara

Kesimpulan Review Film Pengabdi Setan (2017)

Review Film Pengabdi Setan 2017

Jadi apa kesimpulan dari review film Pengabdi Setan 2017 ini?

Filmnya layak tonton. Kalo kalian cari film horror yang memang dibuat dengan baik dan diperankan dengan apik oleh para pemainnya, film ini layak banget buat ditonton.

Ketegangan demi ketegangan dibangun dengan teliti dan twist yang cukup mengejutkan di akhir cerita sungguh layak untuk menghabiskan 107 menit di studio bioskop yang gelap. Dan untuk kalian yang suka nonton sendiri, saran gue nontonlah rame-rame, karena kengerian yang dirasakan teman nonton kalian akan jadi hiburan tambahan.

Baca tulisan gue tentang Nonton Sendiri.

Ini nih trailer film Pengabdi Setan yang serem itu:

Buat dapet berapa bintangnya, cek di bawah review film Pengabdi Setan 2017 ini ya.

25 tanggapan untuk “Review Film Pengabdi Setan (2017)”

Aku setuju soal scene rumah yang ditampilkan itu-itu aja. Mestinya bisa diambil dari sudut yang berbeda. Samping atau belakang.

Banyak pertanyaanku dari film ini. Jadi mesti nonton dulu film jadulnya kayaknya 🙂

Di kesunyian bukan sih lagunya si ibu itu? malah nanya

Btw gw udah ntn versi lama nya tp udah lamaaaaaaa bangettttttt enyunowat.. ntn versi lama nya pk tutup mata aja gw msh ketakutan ga berani tdr sendiri, apalagi ntn full yak..

Dan ini gw penasaran pengen ntn, lg bikin perjanjian sm Lombi supaya doi ga tdr duluan sblm gw tdr dan itu sampe batas wkt yg ga bs ditentukan lalu ga akan ntn2 sampe film nya turun saking guwehhhh lebhay nya hahahahahaha

Cukup baca reviewnya aja aku mah
Nyaliku belum cukup gede buat nonton langsung di Bioskop hahahaha

Ada yang saya bingung, yaitu di bagian ending yang ada fahri albarnya. Itu maksudnya panen lagi apa ya? Mungkin bisa bantu memberi penjelasan.

film nya bagus, yang bikin gua nonton ini karena endy nya sih? btw gua masih gak ngerti sama yang bagian mereka udh pindah ke rumah susun di kota. terus ada tetangga yg ngasih makanan. trs pas tentangganya balik ke rumahnya, suami dia bilang “pokoknya harus kita pastiin kalo mereka gak akan pindah”. maksudnya apa coba? gua gak paham

Gue baru baca nih review lu Dan. Pas banget gue abis nonton filmnya, siang2 jam kantor gitu #ahsyedaapp #kemudiandicyduk.
Dan terus terang gue gak puas nontonnya, bukan masalah ending yang gantung sih, bukan salah wig nya hendra yang genggeus itu juga.
Kayaknya ini film sebatas ngagetin doang buat gue tapi gak bikin takut. Gue lebih takut menatap masa depan.
Eh seriusnya, menurut gue filmnya bagus, buat tiket seharga 25rebu yang gue bayar masih setimpal lah. Sayangnya dari sisi penceritaan justru gue merasa kedodoran, kayak pake celana salah size tapi terpaksa lu pake daripada telanjang pas dikejar pocong yang tiba-tiba baris depan rumah dan ga takut sama pak ustad 😀
Padahal menurut gue, yang lemah tanpa pengalaman bikin skenario ini, kalo lebih konsentrasi di persektean dan adegan penjemputan ian ga maksa banget begono pasti lebih serem.
Karena gue sealiran sama bapak, manusia hidup itu lebih nyeremin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Konten dalam blog ini dilindungi oleh hak cipta
Exit mobile version